PENGERTIAN HUKUM WARIS

Hukum waris adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.[1] Para ahli hukum Indonesia sampai saat ini masih berbeda pendapat tentang pengertian hukum waris.

1). Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah "warisan". Menurutnya : " warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. "[2]

Dari pendapat Wirjono Prodjodikoro tersebut, pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan unsur berikut.

Ke-1 Seseorang peninggal warisan ( erf later )  pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan, yaitu bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan berada.
Ke-2 Seseorang atau beberapa ahli waris ( erf genaam ) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Hal ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan beralih kepada si ahli waris.
Ke-3 Harta warisan ( halaten schap ), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris itu. Hal ini menimbulkan persoalan, yaitu bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.[3]

2). Hazairin mempergunakan istilah hukum "kewarisan". Menurut Hazairin kewarisan adalah : " Peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. "[4]

3). Soepomo mempergunakan istilah "hukum waris" sebagai berikut :
" Hukum waris itu memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud benda ( immateriele goederen ) dari suatu angkatan manusia ( generatie ) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi "akut" disebabkan oleh orang tua meninggal dunia. Memang meningganya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. "[5]

4). Menurut H. M. Idris Ramulyo, sebagai berikut :
" Hukum waris ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan hukum mana yang berhak mewaris harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna. "[6]

5). Menurut R. Santoso Pudjosubroto, sebagai berikut :
"Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. "[7]

6). Menurut R. Abdul Djamali, Sebagai berikut :
" Hukum Waris adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. "[8]

7). Menurut B. Ter Haar Bzn, Sebagai berikut : 
" Hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. "[9]

8). Menurut A. Pitlo, Sebagai berikut :
" Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini dari orang-orang yang memperoleh nya, baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara meraka dengan pihak ketiga. "[10]

9). Menurut Subekti, meskipun tidak menyebutkan definisi hukum kewarisan. Beliau hanya menyatakan hukum waris sebagai berikut :
" Dalam hukum waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya hak kepribadian, misalnya hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak dan kewajiban seorang sebagai anggota sesuatu perkumpulan. "[11]

10). Menurut Gregor van der Burght, sebagai berikut :
" Hukum waris adalah himpunan aturan, yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara mereka satu dengan yang lain maupun dengan pihak ketiga. " [12]

Walaupun cukup banyak pengertian hukum waris yang dikemukakan oleh para ahli hukum, namun pada pokoknya mereka berpendapat sama, yaitu hukum waris adalah peraturan hukum yang mengatur perpindahan harta kekayaan dari pewaris kepada para ahli waris.

Dalam hal ini yang berpindah adalah kekayaan ( vermorgen ) si pewaris, yaitu semua hak dan kewajiban yang dipunyai orang dan mempunyai nilai uang. Hal-hal itu dapat diuraikan seperti berikut ini.

1. Hukum waris sesungguhnya merupakan bagian dari hukum kekayaan.
2. Hak-hak dan kewajiban yang tidak mempunyai nilai uang, seperti hak dan kewajiban tertentu yang berasal dari hubungan hukum kekeluargaan, tidak dapat diwariskan. Contoh : hak maritaal ( Maritale Macht ), hak wali atas orang yang ditaruh di bawah perwalian dan kewajiban pengampu ( curator ) atas curandus.
3. Perikatan meskipun mempunyai sifat hukum kekayaan ( vermogensrechtelijke verbintenissen ), tetapi berasal dari hukum keluarga, tidak termasuk dalam warisan. Sebaliknya hak-hak kekayaan yang sudah ada, sekalipun berasal dari hubungan kekeluargaan masuk dalam warisan misalnya angsuran alimentatie yang sudah jatuh tempo ( oseisbaar ) pada waktu yang berhak meninggal dunia. Contoh : A mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah hidup ( alimentasi ) kepada bekas isterinya dari perkawinan pertama. Apabila si A meninggal dunia, maka janda si A dari perkawinan kedua C, sebagai ahli waris tunggal dari A, tidak akan mengoper atau mewarisi kewajiban alimentasi terhadap bekas isterinya si A ( isteri pertama ). Namun sebaliknya, kalau kewajiban A adalah untuk memberikan alimentasi setiap tanggal 1 sejumlah Rp. 250.000 maka apabila bekas isteri si A tersebut meninggal dunia pada tanggal 5, maka hak atas alimentasi uang sebesar Rp. 250.000 tersebut masuk dalam warisnya, dan diwarisi oleh para ahli warisnya.
4. Hubungan hukum tertentu meskipun mempunyai nilai uang, tetapi bersifat pribadi, tidak termasuk dalam hak dan kewajiban yang dapat diwariskan. Contoh :
- Hubungan yang bersifat pribadi, yang mengandung kewajiban prestasi yang berhubungan erat dengan si pewaris, seperti pelukis yang berjanji untuk membuat lukisan potret seseorang ( Pasal 1601 KUH Perdata ).
- Keanggotaan dalam suatu perseroan ( Pasal 1646 Ayat 4 ), perseroan berakhir kalau seorang persero meninggal atau di bawah pengampuan.
- Lastgeving ( Pasal 1813 KUH Perdata ), pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa. Termasuk hak menikmati hasil orang tua atau wali atas kekayaan anak yang berada di bawah kekuasaan orang tuanya atau ditaruh di bawah perwaliannya ( Pasal 311 dan 314 KUH Perdata tentang vruchgenot ).

Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atas anaknya yang belum dewasa, mempunyai hak menikmati hasil atas kekayaan si anak yang belum dewasa, namun hak tersebut berakhir dengan meninggalnya si orang tua ( Pasal 311 Ayat 3 ) maupun si anak yang belum dewasa ( Pasal 314 KUH Perdata ).[13]

Menurut H.F.A Vollmar, bahwa hak-hak yang bernilai uang, yang berasal dari hubungan hukum tersebut, yang sudah ada masuk dalam warisan. Akan tetapi hal ini tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban baru bagi para ahli waris dari hubungan hukum tersebut.[14]

Asuransi jiwa yang ditutup oleh seorang suami ( atau isteri ) untuk keuntungan isteri ( atau suami ) dapat menimbulkan masalah, yaitu apakah uang santunan tersebut masuk dalam boedel warisan atau tidak. hal ini harus dilihat terlebih dahulu, kapan uang santunan tersebut diperoleh, jika diperoleh semasa hidupnya suami, maka uang santunan tersebut masuk di dalam boedel suami atau isteri jadi termasuk dalam warisan.

Sebaliknya, apabila uang santunan diperoleh isteri ( atau suami ) sesudah suami meninggal, maka ia tidak termasuk di dalam warisan si suami ( atau isteri ) yang meninggal. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa uang santunan asuransi jiwa tidak termasuk di dalam warisan.[15] Terhadap asas perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya terdapat pengecualian, yaitu sebagai berikut :

Menurut Pasal 250 KUH Perdata :
" Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. "

Namun pernyataan pasal di atas, masih perlu dibuktikan dulu apakah anak tersebut dibenihkan sepanjang perkawinan walaupun pembuktiannya cukup sulit. Oleh karena itu, undang-undang membuat asumsi atau persangkaan sebagai berikut :
" Anak-anak yang dilahirkan dalam waktu 300 hari sesudah putusnya perkawinan adalah anak yang dibenihkan sepanjang perkawinan dan karenanya adalah anak sah. "

Pengecualian terhadap anak yang dilahirkan kurang dari 180 hari sejak saat perkawinan dilangsungkan, yaitu anak yang dilahirkan sebelum 180 hari sejak saat perkawinan adalah anak-anak yang dibenihkan sebelum perkawinan. Dalam hal ini si suami dapat menyangkal keabsahan anak tersebut jika suami dapat membuktikan bahwa antara 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya si anak berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan baginya untuk melakukan hubungan dengan isterinya.

Footnote :
[1] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Cet. Ke-II ( Bandung : Mandar Maju, 1995 ), hlm. 1.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia ( Bandung : IS Gravennage Vorkink van Hove, 1962 ), hlm. 8.
[3] Ibid., hlm. 9.
[4] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur'an dan Hadist, Cet. Kelima ( Jakarta : Tintamas, 1983 ), hlm. 2
[5] Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat ( Jakarta : Universitas, 1996 ), hlm. 72-73.
[6] H. M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004 ), hlm. 28.
[7] R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari ( Yogyakarta : Hien Hoo Sing, 1964 ), hlm. 8.
[8] R. Abdul Djamali, Hukum Islam ( Bandung : Mandar Madju, 2002 ), hlm. 112.
[9] K.N.G. Soebakti Poesponoto mengutip B. Ter Haar Bzn dalam Azas dan Susunan Hukum Adat ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1960 ), hlm. 197. 
[10] A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, diterjemahkan oleh Isa Arief ( Jakarta : Intermasa, 1979 ), hlm. 1.
[11] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXII ( Jakarta : Intermasa, 2005 ), hlm. 95-96.
[12] Gregor van der Burght, Seri Pitlo, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker, Cet. Kesatu ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995 ), hlm. 1.
[13] J. Satrio, Hukum Waris ( Bandung : Alumni, 1992 ), hlm. 8-11.
[14] J. Satrio mengutip Vollmar, Ibid.
[15] J. Satrio mengutip J.G. Klaassen dan J. Eggens, Ibid., hlm. 12.


Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN