SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )
A.
Inlands Reglement dan Herziene Inlands Reglement.
Mr. H. L. Wichers ( Ketua Mahkamah Agung Hindia
Belanda, Hooggerechtshof ) menyusun
peraturan acara perdata, peraturan acara pidana, peraturan mengenai peradilan,
peraturan mengenai kitab undang-undang yang telah ditetapkan dan pertimbangan
tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang timur, kemudian diserahkan kepada
Gubernur Jendral J. J. Rochussen pada tanggal 6 Agustus 1847. Setelah melalui
beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, maka Reglement itu disahkan
oleh Gubernur Jendral dan diumumkan pada tanggal 5 April 1848, Stbl Nomor 16,
mulai berlaku 1 Mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jendral tanggal 3
Desember 1847 Stbl Nomor 57, dengan sebutan Inlands
Reglement atau disingkat IR. Dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29
September 1849 Nomor 93, diumumkan dalam Stbl 1849 Nomor 63.
Reglement tersebut mengalami beberapa kali perubahan
dan diumumkan kembali dengan Stbl 1926 Nomor 559 jo. 496, dan sesudah tahun
1926 masih ada perubahan sampai tahun 1941 Stbl Nomor 32 jo. 98, yang kemudian
akhirnya diumumkan dengan Stbl 1941 Nomor 44 dengan nama Herziene Inlands Reglement atau disingkat HIR, ditandai dengan pembentukan openbaar ministerie atau penuntut umum yang berada di bawah Officer van Justitie dan Procureur Generaal ( Jaksa Agung Hindia
Belanda ), yang semula ditempatkan di bawah Pamong Praja.
B.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, hukum acara pidana
tidak terdapat perubahan. Pada masa itu Raad
van justitie dihapus sebagai pengadilan untuk orang Eropa. Dengan
Undang-Undang ( Osamu Serei ) Nomor 1
Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942, dikeluarkan aturan
peralihan yang pada Pasal 3 berbunyi : " Semua badan-badan pemerintahan
dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap
diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer. "
Hukum Acara Pidana tidak mengalami perubahan, yakni
HIR ( Herziene Inlands Reglement )
dan Reglement voor Buitengewesten serta
Landgerechts reglement berlaku untuk
Pengadilan Negeri ( Tihoo Hooin ).
Susunan Pengadilan diatur dalam Osamu
Serei Nomor 3 Tahun 1842 tanggal 20 September 1942 : Pengadilan Negeri ( Tihoo Hooin ), Pengadilan Tinggi ( Kootoo Hooin ), dan Pengadilan Agung ( Saiko Hooin ), dan pada setiap jenjang
pengadilan terdapat Kejaksaan : Tihoo
Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri, Kooto
Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Tinggi, dan Saikoo Kensatsu kyoku pada Pengadilan Agung.
C.
Masa Pemerintahan R. I
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka ketentuan Hukum Acara Pidana
berlaku seperti masa pendudukan Jepang berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi : " Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. "
Dengan Undang-Undang Nomor 1 ( DRT ) Tahun 1951 yang
dikenal sebagai upaya unifikasi hukum
acara pidana dan susunan pengadilan yang sebelumnya beraneka ragam, kemudian
diberlakukan untuk seluruh penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Secara singkat, riwayat pembentukan undang-undang
ini dimulai dengan adanya konsensus dan rancangan hukum acara pidana oleh
Menteri Kehakiman Oemar Senoadji, dilanjutkan dengan Menteri Mochtar
Kusumaatmadja, kemudian Menteri Moedjono bersama Jaksa Agung Ali Said, Kapolri
Awaloedin Djamin dan Wakil dari Mahkamah Agung, secara resmi tanggal 12
September 1979 dikirimkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan dan pada tanggal 23
September 1981 RUU HAP disahkan dalam sidang paripurna, selanjutnya pada
tanggal 31 Desember 1981 Presiden RI mensahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ), Lembaran Negara 1981 No. 76.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana itu adalah salah satu hasil pembangunan dan pembaharuan di bidang hukum
sebagai upaya memyempurnakan perundang-undangan serta dilanjutkan dan ditingkat
usaha kodifikasi dan unifikasi dalam bidang tertentu dengan memperhatikan
kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi menurut
tingkatan kemajuan pembangunan di segala bidang.
Undang-undang ini mengatur tentang hukum acara
pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan
Negara, sehingga sudah seharusnya didalam ketentuan materi pasal atau ayat
tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara
yang terkait dalam proses perkara pidana.
Kini, setelah pemberlakuannya selama kurang lebih 35
tahun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 masuk dalam program legislasi di DPR
untuk dilakukan perubahan bersama dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Stay informed about politics! Subscribe to our news now and get comprehensive analysis from political experts, straight to your inbox every day." let's visit our website here https://pilpres2024wrd.wordpress.com/
ReplyDelete