SISTEM KEWARISAN DI INDONESIA
Di Indonesia saat ini, masih terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Dalam hal ini salah satunya adalah Pasal 136 Wet op de staats Inrichting van Nederland Indische disingkat Indische Staatsregeling atau IS tahun 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.
Pasal tersebut berasal dari Pasal 109 Reglement op get belied der Regeerings van Nederland Indische disingkat Regeering Reglement ( RR Staatsblad Belanda tanggal 1 Januari 1855 yang semula berasal pula dari Pasal 6-10 AB ( Algemeene Bepalingen van Wetgeving ) tahun 1848. Dalam peraturan ini telah ditetapkan tiga gologan penduduk Hindia Belada, yaitu sebagai berikut :
1. Golongan Eropa, yaitu Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, termasuk di dalamnya Jepang, Amerika, Australia, dan Kanada.
2. Golongan Timur Asing, yaitu Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Muangthai dan lain-lain.
3. Golongan Bumi Putera, yaitu orang Indonesia Asli yang terdiri atas 19 kukuban hukum menurut Prof. Van Vollenhoven dan BZN Ter Haar.[1]
Adapun hukum yang berlaku terhadap masing-masing golongan tersebut diatur dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yang ditetapkan dengan Staatsblad 1919 No. 286 dan Staatsblad Hindia Belanda Tahun 1919 No. 621. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut. Bagi golongan Eropa, berlaku Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ) dan Hukum Dagang ( Wetboek van Koophandel ) berdasarkan asaa konkordansi. Bagi golongan Timur Asing, berlaku Hukum Adat mereka, berdasarkan Pasal 75 Regeering Reglement, Staatsblad 1854 No. 129 di Negeri Belanda jo. Staatsblad Hindia belanda Tahun 1855 No. 2.
1. Bagi Mereka yang menundukkan diri ( Toepasslijk Verklaring ) Staatsblad 1917 No. 12 diberlakukan kepada mereka, yaitu Hukum Eropa jo. S. 1926 NO. 30.
2. Pada tahun 1855 dengan Staasblad 1855 No. 79 diberlakukan pula kepada mereka sebagian kodifikasi Hukum Eropa ( Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel ), yaitu mengenai hukum keluarga dan hukum kewarisan ab-intestato.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya golongan Timur Asing dibedakan lagi menjadi sebagai berikut.
1.) Golongan Timur Asing Tionghoa, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 129 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1919 jo. Staatsblad 1924 No. 557 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1925 jo. Staatsblad 1925 No. 29 yang mulai berlaku pada tanggal 1 September1925, kepada mereka diberlakukan : a. Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel, kecuali pasal-pasal tertentu dari Bagian Kedua dan Ketiga Buku I Titel IV mengenai upacara yang harus mendahului perkawinan dan tentang pencegahan perkawinan.
b. Pencatatan sipil sendiri berdasarkan Staatsblad 1917 No. 130 jo Staatsblad 1919 No. 81.
c. Ketentuan khusus mengenai perkongsian dan adopsi ( pengangkatan anak ) berdasarkan Staatsblad 1917 No. 129 jo. Staatsblad 1919 No. 81.[3]
2.) Bagi Golongan Timur Asing bukan Tionghoa ( di jawa dan madura ) berdasarkan Staatsblad 1855 No. 79 diberlakukan kodifikasi Hukum Perdata kecuali mengenai Hukum Kekeluargaan dan Hukum Kewarisan ab-intestato ( kewarisan tanpa wasiat ). Disamping itu, diberlakukan pula hukum adat mereka yang berdasarkan Staatsblad 1924 No. 556 dan mulai berlaku 1 Maret 1925. Ketentuan tersebuthanya diperlakukan kepada Golongan Timur Asing bukan Tionghoa ini sepanjang mengenai harta kekayaan ( vermogenscrecht ).[4]
Bagi golongan Bumi Putera ( Indonesia Asli ) berdasarkan Pasal 131 IS ayat (2) sub b antara lain menyebutkan bahwa hukum yang berlaku bagi golongan Bumi Putera adalah perundang-undangan agama, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan penduduk atau Godsdiestige Wetten, Volkinsteling en Grebruiken atau Hukum Adat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum yang berlaku bagi Golongan Bumi Putera ( Indonesia Asli ) adalah Hukum Adat mereka yang tertulis atau penundukkan diri secara sukarela kepada Hukum Perdata Barat ( Burgerlijk Wetboek ) berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12 jo. Staatsblad No. 300 Tahun 1926. Kemungkinan penundukan diri tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penundukkan diri kepada seluruh Hukum Perdata Eropa ( berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dan Bumi Putera ).
2. Penundukkan diri sebagian Hukum Perdata Eropa ( berlaku bagi golongan Bumi Putera ).
3. Penundukkan diri untuk suatu perbuatan hukum tertentu ( berlaku bagi golonngan Bumi Putera ).
4. Penundukkan diri secara diam-diam atau anggapan ( berlaku terutama bagi golongan Bumi Putera ).
5. Tentang Perjanjian kerja Pasal 1601, 1602, dan 1603 BW ( Staatsblad Tahun 1879 No. 256 ).
6. Tentang perjudian ( utang-utang karena perjudian ) dan pertaruhan Pasal 1788 jo. Pasal 1791.
BW berdasarkan Staatsblad Tahun 1907 No. 306.
7. Beberapa Pasal Wetboek van Koophandel Buku ke-II sebagian besar hukum laut berdasarkan Staatsblad Tahun 1933 No. 49 jo. Staatsblad Tahun 1939 No. 214 jo. Staatsblad Tahun 1938 No. 02.
8. Peraturan yang berlaku untuk semua golongan misalnya Undang-Undang Hak Cipta ( Pengarang ) Auteurswet Staatsblad 1912, Peraturan Umum tentang Koperasi Staatsblad Tahun 1933 No. 108, dan ordonansi tentang pengangkatan di udara ( luchtver Voor Ordonantie Staatsblad Tahun 1938 No. 98 jo. Staatsblad 1939 No. 100 ).[5]
Selain itu, terdapat beberapa peraturan khusus yang berlaku bagi golongan tertentu.
1. Peraturan tentang perkawinan bagi orang-orang Indonesia yang beragama Nasrani ( Kristen dan Katolik ), yaitu Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers atau HOCI. Peraturan ini ditetapkan berdasarkan Staatsblad 1933 No. 74 jo. Staatsblad 1936 No. 247 dan No. 607 yang telah diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1938 No. 264 dan No 370 jo. Staatsblad 1938 No. 288.
6. Tentang perjudian ( utang-utang karena perjudian ) dan pertaruhan Pasal 1788 jo. Pasal 1791.
BW berdasarkan Staatsblad Tahun 1907 No. 306.
7. Beberapa Pasal Wetboek van Koophandel Buku ke-II sebagian besar hukum laut berdasarkan Staatsblad Tahun 1933 No. 49 jo. Staatsblad Tahun 1939 No. 214 jo. Staatsblad Tahun 1938 No. 02.
8. Peraturan yang berlaku untuk semua golongan misalnya Undang-Undang Hak Cipta ( Pengarang ) Auteurswet Staatsblad 1912, Peraturan Umum tentang Koperasi Staatsblad Tahun 1933 No. 108, dan ordonansi tentang pengangkatan di udara ( luchtver Voor Ordonantie Staatsblad Tahun 1938 No. 98 jo. Staatsblad 1939 No. 100 ).[5]
Selain itu, terdapat beberapa peraturan khusus yang berlaku bagi golongan tertentu.
1. Peraturan tentang perkawinan bagi orang-orang Indonesia yang beragama Nasrani ( Kristen dan Katolik ), yaitu Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers atau HOCI. Peraturan ini ditetapkan berdasarkan Staatsblad 1933 No. 74 jo. Staatsblad 1936 No. 247 dan No. 607 yang telah diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1938 No. 264 dan No 370 jo. Staatsblad 1938 No. 288.
2. Bagi golongan Hindu dan Buddha berlaku Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Bagi golongan Indonesia asli yang beragama Islam berlaku ordonansi nikah ( Huwelijks Ordonantie ) Staatsblad 1929 NO. 348 jo. Staatsblad 1932 No. 482 jo. Staatsblad 1933 No. 48 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja. Setelah itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 diberlakukan di seluruh Indonesia. Pada tahun 1974 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 jo. Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 ditetapkan Kompilasi Hukum Islam.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia.
5. Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de Gemengde Huwelijken ) atau GHR yang ditetapkan semula dengan penetapan Raja Belanda tanggal 29 Desember 1896 ( Staatsblad 1898 No. 158 diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1901 No. 348 jo. Staatsblad 1902 No. 311 jo. Staatsblad 1907 No. 205 jo. Staatsblad 1918 No. 30 JIS Staatsblad 1931 No. 108 dan 423 ).[6]
Mengenai Hukum Kewarisan lainnya sampai saat ini masih beraneka sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem Hukum Kewarisan Perdata yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek ( KUH Perdata ) Berdasarkan ketentuan Pasal 131 IS jo. Staatsblad 1917 Nomor 12 jo. Staatsblad 1924 Nomor 557 tentang Penundukkan Diri terhadap Hukum Eropa, maka Burgerlijk Wetboek ( BW ) berlaku bagi :
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa;
b. Orang Timur Asing Tionghoa ( Staatsblad 1917 No. 129 );
c. Orang Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada Hukum Eropa.[7]
Bagi Orang Indonesia keturunan Timur Asing selain Tionghoa, Hukum Waris BW tidak berlaku, kecuali Bab 13 yang mengatur soal wasiat ( Staatsblad 1924 : 556 ). Di dalam Pasal 4 Staatsblad itu ditentukan bahwa orang-orang dari keturunan tersebut hanya dapat membuat wasiat dengan bentuk wasiat umum kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 946, 947, dan 948.[8]
2) Sistem Hukum Kewarisan Adat, hukum kewarisan ini beraneka sistemnya karena dipengaruhi oleh bentuk etnis di lingkungan hukum adatnya. Dalam sistem kewarisan adat dikenal sistem kewarisan matrilineal, patrilineal dan bilateral atau parental. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Sistem matrilineal, yaitu sistem pewarisan yang menarik garis keturunan selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya, seterusnya ke atas kepada ibunya ibu sampai kepada seorang wanita yang dianggap sebagai marganya, dimana klan ibunya berasal dan keturunannya, mereka semua menganggap satu klan ibunya, misalnya di Minangkabau, Enggano, dan Timor.[9]
b. Sistem Patrilineal, yaitu sistem pewarisan yang menarik garis keturunan dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayah, ke atas kepada ayahnya ayah, hal demikian terdapat dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah Batak, atau pada sistem patrilineal yang beralih-alih, yaitu dimana setiap orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada ibunya tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya, misalnya di Lampung dan Rejang.[10]
c. Sistem bilateral atau parental, yaitu dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada ibunya maupun kepada ayahnya.[11]
Dari ketiga bentuk atau sistem masyarakat tersebut, secara eksplisit akan ditemui bahwa dalam masyarakat patrilineal, akibatnya hanya laki-laki atau keturunan laki-laki saja yang berhak tampil sebagai ahli waris, sedangkan dalam sistem matrilineal yang berhak tampil sebagai ahli waris adalah anak perempuan. Dalam sistem ketiga, pada prinsipnya baik laki-laki maupun wanita dapat tampil sebagai ahli waris, mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya dan saudara-saudaranya, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.[12]
3) Sistem hukum waris Islam juga terdiri atas pluralisme ajaran, misalnya sistem kewarisan ahlus sunnah wal jama'ah, ajaran Syiah, serta ajaran hazairin Indonesia.
Sistem hukum waris yang paling dominan dianut di Indonesia, yaitu ajaran ahlus sunnah wal jama'ah ( mazhab Syafi'i, Hanafi, Hambali, dan Maliki ). Akan tetapi, yang paling dominan diantara keempat mazhab yang dianut di Indonesia adalah mazhab Syafi'i, disamping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh sejak tahun 1950 di Indonesia. Hal ini sebagai ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Al-qur'an secara bilateral.[13]
4) Hukum waris orang asing
Hukum waris yang berlaku bagi warga negara asing karena naturalisasi menjadi warga negara asing atau anak perempuan kawin dengan pria warga negara asing. Dalam masalah ini semula terdapat suatu pendirian yang menentukan, bahwa hukum waris tunduk pada prinsip timbal balik ( reciprociteet ). Artinya bahwa seseorang dapat mewaris dari negara lain, jika orang dari negara tersebut juga dapat mewaris dari negaranya. Prinsip ini sekarang sudah tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah hukum nasional pewaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 837 KUH Perdata,[14] sebagai berikut.
" Apabila sebuah warisan terdiri atas barang yang mana sebagian ada di Indonesia dan warisan yang demikian itu harus dibagi antara beberapa orang asing bukan penduduk Indonesia pada belah satu, dan beberapa warga negara Indonesia pada belah lain, maka bolehlah mereka yang terakhir ini mengambil suatu jumlah bagian mereka terlebih dahulu, ialah suatu jumlah dalam perbandingan menurut kadar hak mereka dengan harga barang-barang yang mana karena undang-undang dan kelaziman di luar negeri, mereka tak akan dapat memperoleh hak milik terhadapnya."
Dalam hal ini jumlah atau bagian yang diambil berasal dari barang-barang yang telah memperoleh hak milik terlebih dahulu.
Footnote :
[1] Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat ( Burgerlijk Wetboek ) ( Jakarta : Sinar Grafika, 1993 ), hlm. 13-14.
[2] Ibid., hlm. 15-16.
[3] H. Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata (BW) ( Serang : Darul Ulum Press, 1990 ), hlm. 1-2.
[4] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 17.
[5] H. Suparman Usman, op.cit., hlm. 8.
[6] Ibid., hlm. 9.
[7] Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003 ), hlm. 10.
[8] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 13.
[9] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 4.
[10] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadist, Cet. Kelima ( Jakarta : Tintamas , 1983 ), hlm. 11.
[11] Ibid.
[12] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 5.
[13] H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004 ), hlm. 1-2.
[14] Ali Afandi, op.cit., hlm. 13.
3. Bagi golongan Indonesia asli yang beragama Islam berlaku ordonansi nikah ( Huwelijks Ordonantie ) Staatsblad 1929 NO. 348 jo. Staatsblad 1932 No. 482 jo. Staatsblad 1933 No. 48 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja. Setelah itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 diberlakukan di seluruh Indonesia. Pada tahun 1974 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 jo. Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 ditetapkan Kompilasi Hukum Islam.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia.
5. Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de Gemengde Huwelijken ) atau GHR yang ditetapkan semula dengan penetapan Raja Belanda tanggal 29 Desember 1896 ( Staatsblad 1898 No. 158 diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1901 No. 348 jo. Staatsblad 1902 No. 311 jo. Staatsblad 1907 No. 205 jo. Staatsblad 1918 No. 30 JIS Staatsblad 1931 No. 108 dan 423 ).[6]
Mengenai Hukum Kewarisan lainnya sampai saat ini masih beraneka sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem Hukum Kewarisan Perdata yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek ( KUH Perdata ) Berdasarkan ketentuan Pasal 131 IS jo. Staatsblad 1917 Nomor 12 jo. Staatsblad 1924 Nomor 557 tentang Penundukkan Diri terhadap Hukum Eropa, maka Burgerlijk Wetboek ( BW ) berlaku bagi :
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa;
b. Orang Timur Asing Tionghoa ( Staatsblad 1917 No. 129 );
c. Orang Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada Hukum Eropa.[7]
Bagi Orang Indonesia keturunan Timur Asing selain Tionghoa, Hukum Waris BW tidak berlaku, kecuali Bab 13 yang mengatur soal wasiat ( Staatsblad 1924 : 556 ). Di dalam Pasal 4 Staatsblad itu ditentukan bahwa orang-orang dari keturunan tersebut hanya dapat membuat wasiat dengan bentuk wasiat umum kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 946, 947, dan 948.[8]
2) Sistem Hukum Kewarisan Adat, hukum kewarisan ini beraneka sistemnya karena dipengaruhi oleh bentuk etnis di lingkungan hukum adatnya. Dalam sistem kewarisan adat dikenal sistem kewarisan matrilineal, patrilineal dan bilateral atau parental. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Sistem matrilineal, yaitu sistem pewarisan yang menarik garis keturunan selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya, seterusnya ke atas kepada ibunya ibu sampai kepada seorang wanita yang dianggap sebagai marganya, dimana klan ibunya berasal dan keturunannya, mereka semua menganggap satu klan ibunya, misalnya di Minangkabau, Enggano, dan Timor.[9]
b. Sistem Patrilineal, yaitu sistem pewarisan yang menarik garis keturunan dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayah, ke atas kepada ayahnya ayah, hal demikian terdapat dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah Batak, atau pada sistem patrilineal yang beralih-alih, yaitu dimana setiap orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada ibunya tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya, misalnya di Lampung dan Rejang.[10]
c. Sistem bilateral atau parental, yaitu dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada ibunya maupun kepada ayahnya.[11]
Dari ketiga bentuk atau sistem masyarakat tersebut, secara eksplisit akan ditemui bahwa dalam masyarakat patrilineal, akibatnya hanya laki-laki atau keturunan laki-laki saja yang berhak tampil sebagai ahli waris, sedangkan dalam sistem matrilineal yang berhak tampil sebagai ahli waris adalah anak perempuan. Dalam sistem ketiga, pada prinsipnya baik laki-laki maupun wanita dapat tampil sebagai ahli waris, mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya dan saudara-saudaranya, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.[12]
3) Sistem hukum waris Islam juga terdiri atas pluralisme ajaran, misalnya sistem kewarisan ahlus sunnah wal jama'ah, ajaran Syiah, serta ajaran hazairin Indonesia.
Sistem hukum waris yang paling dominan dianut di Indonesia, yaitu ajaran ahlus sunnah wal jama'ah ( mazhab Syafi'i, Hanafi, Hambali, dan Maliki ). Akan tetapi, yang paling dominan diantara keempat mazhab yang dianut di Indonesia adalah mazhab Syafi'i, disamping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh sejak tahun 1950 di Indonesia. Hal ini sebagai ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Al-qur'an secara bilateral.[13]
4) Hukum waris orang asing
Hukum waris yang berlaku bagi warga negara asing karena naturalisasi menjadi warga negara asing atau anak perempuan kawin dengan pria warga negara asing. Dalam masalah ini semula terdapat suatu pendirian yang menentukan, bahwa hukum waris tunduk pada prinsip timbal balik ( reciprociteet ). Artinya bahwa seseorang dapat mewaris dari negara lain, jika orang dari negara tersebut juga dapat mewaris dari negaranya. Prinsip ini sekarang sudah tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah hukum nasional pewaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 837 KUH Perdata,[14] sebagai berikut.
" Apabila sebuah warisan terdiri atas barang yang mana sebagian ada di Indonesia dan warisan yang demikian itu harus dibagi antara beberapa orang asing bukan penduduk Indonesia pada belah satu, dan beberapa warga negara Indonesia pada belah lain, maka bolehlah mereka yang terakhir ini mengambil suatu jumlah bagian mereka terlebih dahulu, ialah suatu jumlah dalam perbandingan menurut kadar hak mereka dengan harga barang-barang yang mana karena undang-undang dan kelaziman di luar negeri, mereka tak akan dapat memperoleh hak milik terhadapnya."
Dalam hal ini jumlah atau bagian yang diambil berasal dari barang-barang yang telah memperoleh hak milik terlebih dahulu.
Footnote :
[1] Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat ( Burgerlijk Wetboek ) ( Jakarta : Sinar Grafika, 1993 ), hlm. 13-14.
[2] Ibid., hlm. 15-16.
[3] H. Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata (BW) ( Serang : Darul Ulum Press, 1990 ), hlm. 1-2.
[4] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 17.
[5] H. Suparman Usman, op.cit., hlm. 8.
[6] Ibid., hlm. 9.
[7] Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003 ), hlm. 10.
[8] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 13.
[9] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 4.
[10] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadist, Cet. Kelima ( Jakarta : Tintamas , 1983 ), hlm. 11.
[11] Ibid.
[12] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 5.
[13] H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi ( Jakarta : Sinar Grafika, 2004 ), hlm. 1-2.
[14] Ali Afandi, op.cit., hlm. 13.
Comments
Post a Comment