UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN

Ada tiga syarat terjadinya pewarisan, yaitu :
1. Ada orang yang meninggal dunia ( pewaris );
2. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia ( ahli waris );
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris ( harta warisan ).[1]

Menurut pasal 830 KUH Perdata ( 877 BW ), pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Dalam hal ini terkadang penting sekali untuk menetapkan dengan cermat saat kematian. Saat kematian yang biasa dipakai sebagai patokan, yaitu berhentinya detak jantung atau ungkapan tradisionalnya disebut menghembuskan napas terakhir. Baik terhentinya detak jantung maupun tidak berfungsinya alat-alat pernapasan merupakan tanda-tanda iminensi. Namun dalam beberapa kasus kepastian tersebut tampaknya belum memadai, sehingga perlu ditetapkan adanya kematian otak. Misalnya, pada saat menghadapi pasien yang dalam keadaan koma dan sedang dibantu dengan alat pernapasan serta alat-alat tubuhnya diperlukan untuk tujuan transplantasi ( memindahkan alat ). [2]

Di dalam hukum Peransis dikenal hukuman tentang kematian perdata ( mort civile ). Pengenaan hukum ini menyebabkan seseorang kehilangan kedudukannya sebagai subjek hukum perdata, sehingga harta kekayaan sebagai harta peninggalan terbuka. Hukum Belanda tidak mengambil alih lembaga mort civile ini, demikian juga hukum Indonesia, karena hukum perdata Indonesia masih menggunakan hukum peninggalan Belanda.[3]

Tentang kematian, ada beberapa pengecualian dalam Pasal 830 KUH Perdata, antara lain orang yang dinyatakan meninggal dunia berdasarkan persangkaan ( de vermoedelijk overleden verklaarde ) dianggap masih hidup. Namun bagi hukum ia merupakan orang yang sudah tiada sampai ada bukti yang dapat ditunjukkan bahwa ia masih hidup. Dalam kasus demikian, pembuat undang-undang menetapkan tenggang waktu 20 tahun sebelum pewarisan definitif diselenggarakan selama sepuluh tahun pertama, ahli waris atau penerima hibah wasiat belum dapat menikmati hak-hak lengkap yang dipunya pemilik, dan mereka diharuskan membuat pencatatan ( boedelbeschrijving ) dan memberikan jaminan, hanya dengan alasan-alasan mendesak dan atas seizin hakim mereka dapat mengesampingkan barang tersebut dan apabila sudah dua puluh tahun, maka gugurlah segala perbuatan tersebut.[4]

Menurut Pasal 836 KUH Perdata ( 883 BW ), untuk dapat bertindak sebagai ahli waris ia harus ada pada saat harta peninggalan terbuka. Namun menurut Pasal 2 KUH Perdata, menentukan anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Jadi, apabila janin yang ada dalam kandungan ibunya lahir hidup, maka ia akan menerima bagian harta peninggalan ayahnya, sama besar dengan ibu dan kakak-kakaknya. Pengecualian, dari pasal ini diatur dalam Pasal 895 KUH Perdata.

1. Pengertian Pewaris

a. Menurut Eman Suparman
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan baik berupa hak maupun kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.[5]

b. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Pewaris adalah setiap seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan dan unsur ini menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan harta kekayaannya.[6]

c. Menurut Idris Ramulyo
Setiap orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan ( harta kekayaan ) disebut pewaris atau erflater. Hal ini berarti syarat sebagai pewaris adalah adanya hak-hak dan/atau sejumlah kewajiban.[7]

d. Menurut Emeliana Krisnawati
“ Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan. “[8]

e. Menurut H. Zainuddin Ali
“ Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh, beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. “[9]

2. Hak dan Kewajiban Pewaris

a. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan. Artinya pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament atau wasiat. Isi testament atau wasiat dapat berupa :

1) Erfstelling, yaitu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan [10] atau orang yang ditunjuk melalui surat wasiat untuk menerima harta peninggalan pewaris.[11]

Dalam hal ini orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam, yaitu ahli waris menurut wasiat. Adapun menurut undang-undang ahli waris dimaksud adalah ahli waris yang memperoleh segala hak dan kewajiban si peninggal conder algemene titel.[12]

2) Legaat, [13] adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar testament atau wasiat yang khusus, pemberian ini dapat berupa :

a) (hak atas) satu atau beberapa benda tertentu,
b) (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu,
c) hak vruchtgebriuk atas sebagian atau seluruh warisan ( Pasal 957 KUH Perdata ).
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris.
Subekti menyatakan legaat adalah suatu pemberian kepada seseorang.[14]

b. Kewajiban pewaris
Kewajiban si pewaris adalah pembatasan terhadap haknya yang ditentukan undang-undang. Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan ( Pasal 913 KUH Perdata ). Jadi, legitieme portie adalah pembatalan terhadap hak si pewaris dalam membuat testament atau wasiat.[15]

3. Pengertian Ahli Waris

a. Menurut Emeliana Krisnawati
Ahli waris adalah orang yang menggantikan kedudukan pewaris atau orang yang mendapat/menerima harta warisan.[16]

b. Menurut Eman Suparman
Waris adalah orang yang berhak menerima pusaka ( peninggalan orang yang telah meninggal ). Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.[17]

c. Menurut Idris Ramulyo
Ahli Waris adalah orang-orang tertentu yang secara limitatif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. [18] Selanjutnya Idris Ramulyo mengatakan bahwa ahli-ahli waris tersebut tampil sebagai ahli waris karena :

1). Ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ( uit eigen hoofde ) atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris;
2). Ahli waris berdasarkan penggantian ( bij plaatsvervulling ) dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung, baik penggantian dalam garis lurus ke bawah maupun penggantian dalam garis ke samping ( zijlinie ), penggantian dalam garis samping, juga melibatkan penggantian anggota-anggota keluarga yang lebih jauh;
3). Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta. [19]

4. Pengertian Harta Warisan

Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. [20]

Menurut KUH Perdata, dari manapun harta itu asalnya tetap merupakan satu kesatuan yang secara keseluruhan beralih dari tangan si meninggal kepada para ahli warisnya. Dengan demikian, dalam KUH Perdata tidak dikenal adanya lembaga barang asal ( harta bawaan ), yaitu barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan, pengecualiannya dilakukan dengan cara dibuat perjanjian kawin. [21]

Menurut Pasal 119 KUH Perdata, sejak dilangsungkannya perkawinan terjadilah persatuan yang bulat antara kekayaan suami dan kekayaan istri, dengan tidak memandang dari siapa asalnya harta tersebut. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan baik yang diperoleh si suami maupun si istri, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menjadi harta persatuan yang bulat. Demikian juga harta yang diperoleh dari warisan masing-masing, maupun yang diperoleh dari hibah baik kepada suami ataupun kepada istri atau kepada mereka berdua, semuanya menjadi harta warisan. Apabila terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia, maka harta perkawinan terlebih dahulu dibagi dua sama rata, antara suami dan istri.

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam KUH Perdata masih dapat diadakan penyimpangan dengan cara dibuatnya perjanjian perkawinan, yaitu persetujuan yang dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan, khususnya yang berkaitan dengan persatuan harta kekayaan. Menurut KUH Perdata yang dimaksud harta warisan, bukan saja berupa harta benda, tetapi juga hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Ketentuan terhadap harta warisan memiliki beberapa pengecualian, yaitu tentang hak dan kewajiban yang tidak dapat beralih kepada para ahli warisnya. Pengecualian itu antara lain sebagai berikut.

a. Dalam lapangan hukum harta kekayaan, yaitu :

1) Hak untuk memungut hasil ( vruchtgebruik );
2) Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
3) Perjanjian perkongsian dagang, baik berbentuk maatcschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota atau Persero.

b. Dalam lapangan hukum keluarga, yaitu :

1) Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
2) Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah atau ibunya. [22]

Sistem hukum waris di dalam BW tidak mengenal adanya harta asal dan harta perkawinan atau harta gono gini, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga harta itu berasal tetap merupakan “ harta persatuan “ yang bulat dan utuh. Harta itu secara keseluruhan akan beralih dari tangan si peninggal harta warisan kepada para ahli warisnya. Hal ini diatur Pasal 849 BW sebagai berikut. [23]

Undang-Undang tidak memandang akan sifat atau asal dari barang-barang dalam sesuatu harta peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya “.


Footnote :
[1] H. Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Cet. Pertama ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008 ), hlm. 81.
[2] Gregor van der Burght, Seri Pitlo, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker, Cet. Kesatu ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995 ), hlm. 31-32
[3] Ibid., hlm. 33.
[4] Ibid., hlm. 35.
[5] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW ( Bandung : Refika Aditama, 2005 ), hlm. 28-29.
[6] Mohd. Idris Ramulyo mengutip Wirjono Prodjodikoro dalam Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat ( Burgerlijk Wetboek ) ( Jakarta : Sinar Grafika, 1993 ), hlm. 43.
[7] Ibid., hlm. 21.
[8] Emeliana Krisnawati, Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek ( BW ) ( Bandung : CV. Utomo, 2006 ), hlm.1.
[9] H. Zainuddin Ali, op.cit., hlm. 85.
[10] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 24.
[11] H. Zainuddin Ali, op.cit., hlm. 92.
[12] Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Hukum Perdata Barat ( Burgerlijk Wetboek ), loc.cit.
[13] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXII ( Jakarta : Intermasa, 2005 ), hlm. 107.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 35.
[16] Ibid.
[17] Eman Suparman, op.cit., hlm 2.
[18] Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 21.
[19] Ibid., hlm. 21-23.
[20] H. Zainuddin Ali, op.cit., hlm. 83.
[21] Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat ( Suatu Pembahasan Teoritis dan Praktik) ( Bandung : Tarsito, 1988 ), hlm. 5.
[22] H. Zainuddin Ali, op.cit., hlm. 83.
[23] Ibid., hlm. 84.


Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR