LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

1. Berdasarkan Pasal 2 Dan Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.

Landasan hukum kewenangan pengadilan menyelesaikan permohonan atau yurisdiksi voluntair, merujuk kepada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan 2 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 ( sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 ). Meskipun UU No. 14 Tahun 1970 tersebut telah diganti oleh UU No. 4 Tahun 2004, apa yang digariskan Pasal 2 dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair. Ketentuan tersebut menegaskan :

A. Pada prinsipnya; penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman ( judicial power ) melalui badan-badan peradilan bidang perdata tugas pokoknya menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara ( dalam pengertian sengketa = diputus ) yang diajukan kepadanya.

Berdasarkan ketentuan ini, pada prinsipnya, fungsi dan kewenangan pengadilan di bidang perdata adalah memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara sengketa atau kasus yang bercorak persengketaan antara dua pihak atau lebih. Berarti yurisdiksi PN dibidang perdata, adalah yurisdiksi contentiosa atau contentiuse rechtstaat yang bermakna proses peradilan sanggah-menyanggah antara pihak penggugat dengan tergugat. Jadi, ada yang bertindak sebagai penggugat dan ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat; sistem dari yurisdiksi contentiosa inilah yang disebut peradilan biasa ( ordinary court ) atau judicature, yaitu ada pihak penggugat dan tergugat serta di antara mereka ada kasus yang disengketakan.

B. Secara eksepsional ( exceptional ). Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, memberi kewenangan atau yurisdiksi voluntair kepada pengadilan.

Hal itu ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984. [1] Dikatakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan memutuskan perkara yang bersifat sengketa atau jurisdiction. Akan tetapi di samping itu, berwenang juga memeriksa perkara yang termasuk ruang lingkup yurisdiksi voluntair ( voluntary jurisdiction ) yang lazim disebut perkara permohonan. Namun kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang tegas ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Memang yurisdiksi memperluas kewenangan itu sampai pada hal-hal yang ada urgensinya. Itu pun dengan syarat, jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa secara partai yang harus diputus secara contentious.

Bertitik tolak dari ketentuan ini, kepada PN diberi kewenangan voluntair ( yurisdiksi voluntair ) untuk menyelesaikan masalah perdata yang bersifat sepihak atau ex-parte dalam keadaan :

• Sangat terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tertentu saja;
• Dengan syarat : hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan yang ditentukan sendiri oleh undang-undang, yang menegaskan tentang masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair melalui bentuk permohonan.

2. Berbagai Pendapat Mengenai Yurisdiksi Voluntair.

Untuk lebih memahami landasan yurisdiksi Voluntair yang dikemukakan di atas, ada baiknya diperhatikan berbagai penjelasan dan pendapat yang diuraikan dibawah ini.

A.  Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 ( Juni 1973 ) Dalam Kasus Forest Products Corp Ltd.

Penetapan ini merupakan penegasan dan pendapat resmi MA yang diterbitkan Prof. R. Subekti dalam kapasitasnya sebagai Ketua MA RI. Pendapat ini bersumber dari Kasus Forest Products Corp Ltd.

PN Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan voluntair dalam perkara permohonan No. 274/1972 :

- Putusan dijatuhkan pada tanggal 27 Juni 1972;
- Isi putusan :

1) Menyatakan sah RUPS ( Rapat Umum Pemegang Saham ).
2) Menyatakan perjanjian yang dibuat tidak mengikat Forest Products Corp Ltd.

Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan atas putusan voluntair PN Jakarta Pusat tersebut, MA mengeluarkan penetapan No. 5 Pen/Sep/1975 yang berisi pertimbangan dan penegasan, antara lain :

1) Penyataan secara deklatoir tentang sahnya RUPS dan susunan pengurus serta tidak mengikatnya perjanjian melalui gugatan voluntair, bertentangan dengan asas prosesual;
2) Secara prosesual, ketetapan voluntair yang dijatuhkan PN dalam kasus ini, harus berdasarkan gugatan contentiosa;
3) Yurisdiksi voluntair, hanya sahnya apabila hal itu ditentukan oleh undang-undang. [2]

B. Putusan Peninjauan Kembali ( PK ) No/PK/AG/1990, tanggal 22 Januari 1991.

• PA ( Pengadilan Agama ) Pandeglang telah menjatuhkan penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan yang diajukan salah seorang ahli waris dalam bentuk permohonan atau gugatan voluntair;

• Terhadap penetapan itu, ahli waris yang lain mengajukan PK kepada MA, dan atas permohonan itu, MA menjatuhkan putusan, antara lain menegaskan :

1) Gugatan voluntair hanya dapat diterima pengadilan apabila untuk itu ada ketentuan UU yang mengaturnya secara khusus;
2) Dalam kasus penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan, tidak ada dasar hukumnya [3] untuk diperiksa secara voluntair.

C. Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja Pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal 25 November 1987.

Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal 25 November 1987, antara lain mengatakan :

• Masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang bersifat sengketa ( contentience jurisdictie );

• Di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk ruang lingkup voluntair jurisdictie, akan tetapi kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[4]

D. Pendapat Prof. Sudargo Gautama.

Pendapat Prof. Sudargo Gautama, antara lain mengatakan :

Dalam hal terjadi penyelesaian secara voluntair mengenai suatu perkara, yang mengandung sengketa :

• Telah terjadi proses ex-parte;
• Berarti penyelesaian sengketa melanggar tata tertib beracara yang baik ( goede process orde ), dan sekaligus melanggar asas audi alteram partem ( hak pihak lain untuk membela dan hak mempertahankan kepentingannya );
• Padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan voluntair dalam kasus ini, harus didengar sebagai pihak.[5]

E. Berdasarkan Putusan MA.

Berdasarkan putusan MA, antara lain :

• Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan :
PN yang telah memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya terkandung sengketa, tidak ada dasar hukumnya.

• Putusan MA No. 130 K/Sep/1957, 5 November 1957, antara lain menyatakan :
Permohonan atau voluntair yang diajukan meminta agar pengadilan memutuskan siapa ahli waris dan pembagian waris, sesudah melampaui batas kewenangan.

• Putusan MA No. 1931 K/Sep/1974, 6 April 1978, antara lain berbunyi :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan penetapan ( voluntair ) hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas tanah tersebut.

Demikian, landasan aturan umum ( general regulatory ) yang digariskan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 maupum yang ditegaskan oleh MA yang harus diterapkan dalan permohonan atau voluntair. Salah satu hal yang penting diperingatkan, yurisdiksi voluntair tidak meliputi penyelesaian sengketa hak. Tentang hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 10 K/Pdt/1985.[6] Ditegaskan, putusan PN yang menetapkan status hak atas tanah melalui gugatan voluntair, tidak sah tidak mempunyai dasar hukum, karena tidak ada ketentuan undang-undang yang memberi wewenang kepada PN untuk memeriksa permohonan yang seperti itu, sehingga sejak semula permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.[7]




Footnote :

[1] Tanggal 25-11-1987, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting, MA RI, 1992, hlm. 45.
[2] M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 193.
[3] Ibid., hlm. 193.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Tanggal 30-06-1987, Yurisprudensi Indonesia, MA RI, 1993, hlm. 7.
[7] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2016, hlm. 29-33.





Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN