FORMULASI SURAT GUGATAN KONTENTIOSA ( PETITUM GUGATAN )


Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat. Dengan kata lain petitum gugatan, berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak. Ada beberapa istilah yang sama maknanya dengan petitum; seperti petita atau petitory maupun conclusum. Akan tetapi, istilah yang baku dan paling sering dipergunakan dalam praktik peradilan adalah petitum atau pokok tuntutan.

Untuk memperoleh pengertian yang memadai tentang ruang lingkup petitum gugatan, perlu dijelaskan hal-hal berikut.

A. Bentuk Petitum

Macam-macam bentuk petitum adalah sebagai berikut.

1) Bentuk Tunggal

Petitum disebut berbentuk tunggal, apabila deskripsi yang menyebut satu per satu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau subsidair ( subsidiary ). Perlu diingat, bentuk petitum tunggal tidak boleh hanya berbentuk compositur atau ex-aequo et bono ( mohon keadilan ) saja. Tetapi harus berbentuk rincian satu per satu, sesuai dengan dikehendaki penggugat dikaitkan dengan dalil gugatan. Petitum yang hanya mencantumkan mohon keadilan atau ex-aequo et bono :

• Tidak memenuhi syarat formil dan materiil petitum,
• Akibat hukumnya, gugatan dianggap mengandung cacat formil, sehingga harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima.

2) Bentuk Alternatif

Petitum gugatan yang berbentuk alternatif dapat diklasifikasikan :

A) Petitum Primair dan subsidair sama-sama dirinci

Baik petitum primair maupun subsidair, sama-sama dirinci satu per satu dengan rincian yang saling berbeda. Misalnya pada angka 1 dan 2 petitum primair, penggugat meminta agar dinyatakan sebagai pemilik yang sah, dan menghukum tergugat untuk menyerahkan barang tersebut kepadanya yang diikuti dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan pada angka 1 dan 2 petitum subsidair, penggugat meminta dinyatakan orang yang berhak atau pemilik barang, dan meminta agar tergugat dihukum untuk membayar harga barang. Pada contoh ini jelas dapat dilihat perbedaan pokok tuntutan pada primair, ( menghukum tergugat, menyerahkan barang ). Sedangkan para subsidair meminta menghukum tergugat membayar harga barang.

Penerapan yang ditegakkan mengahadapi petitum primer dan subsidair yang masing-masing dirinci satu per satu :

• Mutlak diterapkan secara alternatif;
• Oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusan, harus memilih apakah petitum primair atau subsidair yang hendak dikabulkan,
• Dengan demikian, hakim dalam menghadapi gugatan yang mengandung petitum primair dan subsidair, tidak boleh mencampur adukan dengan cara mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian lagi dari subsidair.

B) Petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair berbentuk compositur atau ex-aequo et bono ( mohon keadilan ) :

• Dalam hal ini, sifat alternatifnya tidak mutlak ( tidak absolut ),
• Hakim bebas untuk mengambil seluruh dan sebagian petitum primair dan mengesampingkan petitum ex aequo et bono ( petitum subsidair ),
• Bahkan hakim bebas dan berwenang menetapkan lain berdasarkan petitum ex-aequo et bono dengan syarat :

- Harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan ( appropriateness ), dan
- Kelayakan atau kepatutan yang ditetapkan atau dikabulkan itu, masih berada dalam kerangka jiwa petitum primair dan dalil gugatan.

B. Berbagai Petitum Yang Tidak Memenuhi Syarat

Supaya petitum tidak menimbulkan cacat formil gugatan, di bawah ini dikemukakan secara ringkas berbagai hal yang menyebabkan petitum bertentangan dengan tata tertib beracara.

1) Tidak Menyebut Secara Tegas Apa Yang Diminta Atau Petitum Bersifat Umum.

Petitum yang memenuhi syarat, mesti bersifat tegas dan spesifik menyebut apa yang diminta penggugat. Oleh karena itu, jika petitum sifatnya kabur karena tidak jelas secara spesifik apa yang diminta, menyebabkan gugatan itu obscuur libel, yang berakibat gugatan tidak dapat diterima. Demikian ditegaskan dalam salah satu putusan MA, [1] antara lain, menyatakan petitum gugatan hanya meminta supaya :

• Menetapkan hak penggugat atas tanah, dan
• Menghukum tergugat supaya berhenti bertindak atas tempat tersebut, dan menyerahkan kepada penggugat untuk bebas bertindak di atas tempat tersebut, dianggap merupakan petitum gugatan yang tidak jelas tentang apa yang diminta. Akibatnya gugatan dinyatakan mengandung cacat formil dalam bentuk obscuur libel.

Barangkali ada yang berpendapat, putusan MA diatas, dianggap terlampau keras ( strict law ). Karena jika dicermati lebih teliti, ada hal-hal yang diminta meskipun secara samar yaitu meminta agar penggugat ditetapkan ( dinyatakan ) berhak atas tanah terperkara, yang diikuti dengan permintaan agar tergugat menyerahkan tanah itu kepadanya. Namun terlepas dari itu, agar gugatan tidak terjebak ke arah cacat formil obscuur libel, dituntut rumusan petitum yang tegas dan spesifik meminta apa yang dikehendaki sesuai dengan dalil gugatan. Hal yang sama terjadi dalam putusan MA, [2] yang menyatakan gugatan tidak sempurna, karena tidak menyebut dengan jelas apa yang dituntut, sebab petitum hanya meminta agar dinyatakam sah semua putusan Menteri Perhubungan Laut, tetapi tidak disebut putusan yang mana, serta juga meminta agar semua perbuatan tergugat dinyatakan melawan hukum terhadap penggugat tanpa menyebut perbuatan yang mana yang dimaksud.

2) Petitum Tuntutan Ganti Rugi Tetapi Tidak Dirinci Dalam Gugatan Tidak Memenuhi Syarat.

Sebagai pedoman atas ketentuan ini, antara lain dapat dibaca dalam salah satu putusan MA. [3] Putusan ini bertitik tolak dari tuntutan ganti rugi hasil tanah, akan tetapi tuntutan ganti rugi yang diminta dalam petitum tidak dirinci dalam gugatan, dan juga tidak dibuktikan penggugat dalam persidangan. Sekiranya penggugat dapat membuktikan dalam persidangan, kelalaian merinci dalam gugatan masih mungkin ditolerir bertitik tolak dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ( sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 ), dan sekarang dalam Pasal 4 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 2004 ( sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970 ).

3) Petitum Yang Bersifat Negatif, Tidak Dapat Dikabulkan.

Petitum yang meminta agar peradilan menghukum tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat merusak bangunan adalah petitum yang bersifat negatif, oleh karena itu tidak dapat dikabulkan. Demikian penegasan dalam salah satu putusan MA [4] yang berpendapat, gugatan yang mengandung petitum yang bersifat negatif, dianggap merupakan gugatan yang tidak jelas atau kabur ( obscuur libel ), yang berakibat gugatan tidak dapat diterima.

4) Petitum Tidak Sejalan Dengan Dalil Gugatan

Masalah lain yang harus diperhatikan, petitum gugatan harus sejalan dengan dalil gugatan. Dengan demikian, petitum mesti bersesuaian atau konsisten dengan dasar hukum dan fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita. Tidak boleh terjadi saling bertentangan atau kontroversi di antaranya. Apabila terjadi saling bertentangan, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, sehingga gugatan dianggap kabur ( obscuur libel ). Kejadian yang seperti ini, ditegaskan dalam salah satu putusan, antara lain menyatakan : Petitum yang tidak sejalan dengan dalil gugatan mengandung cacat obscuur libel, oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. [5]

C. Sepintas Penerapan Petitum

Dalam uraian ini akan dikemukakan tata cara dan tata tertib penerapan petitum yang harus ditegakkan oleh pengadilan.

1) Petitum Primer Dikaitkan Dengan Ex-Aequo Et Bono ( Mohon Keadilan ).

Apabila gugatan mengandung petitum subsidair dengan bentuk ex-aequo et bono, penerapan pengabulan petitum ex-aequo et bono atau pengabulan gugatan, hendaklah mengacu pada sistem berikut :

• Pada satu segi hakim tidak boleh melebihi materi pokok petitum primer, sehingga putusan yang dijatuhkan tidak melanggar ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 Ayat (3) HIR;
• Pada segi lain, tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat melakukan pembelaan kepentingannya. [6]

2) Berwenang Mengurangi Petitum

Hakim atau pengadilan tidak diwajibkan mengabulkan semua yang diminta dalam petitum secara utuh dan menyeluruh. Pengadilan berwenang mengurangi petitum gugatan. Salah satu contoh kasus pengurangan petitum, dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Tinggi Surabaya. Putusannya pada tingkat banding hanya mengabulkan pembatalan sita eksekusi atas barang saja. Menurut pertimbangan MA, [7] pengabulan yang demikian tidak berarti menyimpang dari petitum. Sifat pengabulan yang tidak mengabulkan seluruh apa yang diminta dalam petitum adalah berbentuk mengurangi apa yang dituntut dalam petitum. Hakim atau Pengadilan berwenang melakukan tindakan yang demikian, oleh karena itu, tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

3) Tidak Dapat Mengabulkan Yang Tidak Diminta Dalam Petitum

Pengadilan hanya terbatas mengabulkan hal-hal yang diminta secara tegas dalam petitum gugatan. Meskipun sesuatu hal atau hak dikemukakan dengan jelas dan tegas dalam dalil gugatan, serta hal atau hak itu dapat dibuktikan penggugat dalam persidangan, namun hal itu, tidak dapat dikabulkan apabila tidak diminta dalam petitum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam salah satu putusan yang mengatakan, bahwa sesuatu yang tidak dituntut dalam petitum tidak dapat dipertimbangan dalam putusan. [8] Begitu juga dalam putusan lain ditegaskan, mengabulkan bunga yang tidak diminta dalam petitum, dianggap melanggar asas ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 Ayat (3) HIR ( mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut ). Putusan yang demikian disebut mengandung ultra vires, yaitu melampaui batas kewenangan mengadili ( beyond their power ).

Dalam kasus ini PT mengabulkan bunga sebesar 11/2 % Per bulan. Pada tingkat kasasi MA menegaskan, pengabulan itu tidak dapat dibenarkan, karena melanggar Pasal 178 Ayat (3) HIR atas alasan :

• Dalam petitum maupun dalam posita penggugat tidak ada menuntut pembayaran bunga,
• Yang diminta dalam petitum adalah ganti rugi atas kemerosotan nilai rupiah. Oleh karena itu, bunga yang dikabulkan PT harus dihapuskan. [9]




Footnote :

[1] MA No. 582 K/Sip/1973, 18-12-1975, Ibid., hlm. 204
[2] MA No. 492 K/Sip/1970, 21-11-1970, Ibid., 205.
[3] MA No. 1186 K/Sip/1973, 04-05-1975, Ibid.
[4] MA No. 1380 K/Sip/1973, 11-11-1975, Ibid.
[5] MA No. 67 K/Sip/1975, 13-05-1975.
[6] MA No. 803 K/Sip/1973, 05-06-1975, Ibid., hlm. 207.
[7] MA No. 1722 K/Pdt/1983, 19-01-1985, jo. PT Surabaya No. 533/1902, 25-10-1982, PN Surabaya No. 128/1979, 18-09-1978.
[8] MA No. 330 K/Pdt/1986, 14-05-1987.
[9] MA No. 1567 K/Pdt/1983, 25-09-1984, PT Jakarta No. 578/1981, 18-02-1983, PN Jak-Tim No. 532/1979, 03-12-1980.



Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN