PELAKSANAAN PEMIDANAAN

1. Eksekusi

a. Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa setelah menerima salinan Putusan ( Putusan Pemidanaan ) yang dikirimkan oleh Panitera Pengadilan Negeri ( Pasal 270 KUHAP ) dan dilakukan serah terima di Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalankan pemidanaannya. Dalam hal pelaksanaan hukuman mati, tidak dilakukan dimuka umum dan dilaksanakan berdasarkan Undang - Undang Nomor 2/PNPS/1964 tanggal 27 April 1964.

b. Pelaksanaan pidana denda diberikan jangka waktu 1 ( satu ) bulan dan dapat diperpanjang 1 ( satu ) bulan berdasarkan alasan yang kuat, Pasal 273 Ayat (1) dan (2) KUHAP.

c. Pelaksanaan terhadap barang bukti yang dirampas untuk Negara, Jaksa menguasakan kepada Kantor Lelang Negara dalam waktu 3 ( tiga ) bulan dan dapat diperpanjang 1 ( satu ) bulab, hasilnya kemudian disetorkan ke Kas Negara atas nama Jaksa, Pasal 273 Ayat (3) dan (4) KUHAP.

d. Pelaksanaan putusan ganti rugi dilakukan menurut tata cara putusan perkara perdata, Pasal 275 KUHAP.

e. Pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan pengawasan dan pengawasan dan pengamatan menurut ketentuan perundang-undangan, biasanya dengan memanfaatkan Pamong Desa, Ketu RT/RW setempat dan atau dengan cara wajib lapor, Pasal 276 KUHAP.

f. Pembayaran biaya perkara dan atau ganti kerugian dalam hal terpidananya lebih dari satu orang, dilakukan secara bersama - sama dan seimbang, Pasal 275 KUHAP.

2. Pelaksanaan Pemidanaan

a. Pelaksanaan pemidanaan adalah pelaksanaan putusan hakim pengadilan ( Putusan Pemidanaan ) yang telah berkekuatan hukum tetap " inkracht van gewijsde " dan dilaksanakan pada suatu tempat yang ditentukan oleh Negara, di Indonesia disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan atau disingkat LAPAS.

b. Sebagai perbandingan, untuk mencapai tujuan pemidanaan itu, di dunia telah dicoba beberapa sistem penjara ( gevangenis-stelsel ) dan diantaranya yang terkenal adalah :

1) Sistem Pennsylvania

Disebut juga sebagai " sistem sel ", artinya menyuruh menjalani pidana secara terpisah dalam sebuah sel. Narapidana hanya boleh berhubungan dengan penjaga sel. Mula - mula dipraktekkan di Pennsylvania, Amerika Serikat. Sistem ini tidak dapat dipakai di Indonesia, karena : dibutuhkan banyak sel dan iklim panas indonesia dapat membahayakan penghuni sel ( Narapidana ).

2) Sistem Auburn

Menggunakan sistem sel juga, tetapi hanya malam hari saja napi berada dalam selnya, siang hari napi bekerja bersama - sama, tetapi tidak boleh bicara, karenanya disebut juga " silent system ". Sistem Auburn ini bukanlah untuk perbaikan, akan tetapi untuk pembalasan semata yang sangat dipengaruhi pemikiran dalam aliran pembalasan, mengingat perbaikan tidak akan berpengaruh sebelum semangat penjahat dipatahkan ( contended that reformation could be effected until the spirit of criminal was broken ).

3) Sistem Irlandia

Sistem ini bersifat progresi, yang mula - mula pidana itu dijalankan secara keras, kemudian sesudah dididik dan berkelakuan baik,makin diperingan atau diperlunak.

4) Sistem Elmira

Sistem ini hampir sama dengan sistem irlandia, akan tetapi tidak menentukan lamanya pidana itu, artinya dalam putusan hakim hanya dinyatakan terdakwa bersalah oleh Jury. Dengan demikian lamanya pidana tergantung pada kelakuan nara pidana yang bersangkutan.

5) Sistem Borstal

Sistem ini sama dengan Sistem Elmira, namun Hakim masih menentukan lamanya pidana, dan orang yang dipenjara sangat tergantung kepada Menteri Kehakiman yang berwenang untuk mengakhirinya apabila telah dianggap cukup. Sistem ini diterima di Indonesia untuk penjara anak - anak muda di Tangerang.

6) Sistem Obsborne

Sistem ini memberikan " self-government " dari dan untuk narapidana, sebagaimana sistem penjara di Indonesia dijalani bersama - sama, kecuali untuk anak laki - laki dipisahkan dengan perempuan, dewasa dipisahkan dari anak - anak, sipil dan militer ( Pasal 36 Ayat (1), Gestichten - Reglement ). Sistem ini kemudian berkembang dan dikenal dengan sebutan " Sistem Pemasyarakatan ", yang berlandaskan falsafah bangsa Indonesia " Pancasila ". Tempat pemidanaan disebut sebagai " Lembaga Pemasyarakatan " atau disingkat " Lapas ", beberapa yang dikenal antara lain Lapas Grobokan Denpasar Bali, Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Cebongan Yogyakarta, Lapas Wanita Pondok Bambu Jakarta, Lapas Salemba, Lapas Nusakambangan di Cilacap dan lain - lain.

Beberapa masalah yang timbul akhir - akhir ini antara lain, over kapasitas penghuni Lapas, meningkatnya kuantitas narapidana narkotika, kekurangan bangunan Lapas, keterbatasan Rumah Tahanan ( Rutan ), penyimpangan oleh oknum sipir Lapas dan sebagainya. 

Pasal 24 KUHP, menyatakan bahwa narapidana dapat juga disuruh atau diperintahkan bekerja di luar tembok penjara, kecuali :

- Narapidana seumur hidup, perempuan atau yang tidak kuat ( Pasal 25 )
- Orang yang ditentukan oleh Hakim dalam putusannya berhubung dengan keadaan dan kedudukan narapidana itu.

Dalam Pasal 20 KUHP, ditentukan bahwa bila dijatuhkan pidana penjara yang tidak lebih dari 1 ( satu ) bulan, Hakim boleh menentukan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperkenankan untuk mengijinkan narapidana itu diluar penjara sehabis jam kerja. Dalam perkembangannya, sifat pidana penjara di Indonesia sekarang harus dilihat dari sudut " pengayoman ", yakni melakukan pembinaan dengan mendidik agar narapidana selesai menjalankan proses pemidanaan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.

c. Pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pemidanaan pada prinsipnya dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan atau oleh Hakim yang ditunjuk untuk itu serta pembinaan teknis oleh Jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pasal 277 - 283 KUHAP dan Undang - Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

3. Pembinaan Narapidana

a. Sebagai salah satu sub - sistem dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ( Criminal Justice System ) adalah Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) sebagai lembaga pembinaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari pemasyarakatan, yaitu (1)  rehabilitasi, (2) reedukasi, (3) resosialisasi, (4) reintegrasi terhadap narapidana, sampai dengan (5) sebagai bagian dari upaya penanggulangan kejahatan ( kriminalitas ).

b. Gagasan pemasyarakatan ini pertama kali dicetuskan oleh Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 dan dinyatakan sebagai kebijaksanaan umum Pemerintah dan resmi sebagai Sistem Pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964, adalah merupakan hasil konferensi pemasyarakatan ( Dinas Kepenjaraan ) di Lembang, Jawa Barat, dengan menganut beberapa prinsip pemasyarakatan sebagai berikut :

1) Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu cara perlakuan terhadap terpidana. 
2) Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong royong, antara petugas, terpidana, dan masyarakat.
3) Tujuan pemasyarakatan adalah untuk mencapai kesatuan hubungan hidup, penghidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat sebagai integeritas hidup, kehidupan, dan penghidupan.
4) Fokus pemasyarakatan bukanlah individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan antara terpidana dan masyarakat.
5) Terpidana harus dipandang sebagai orang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum, melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap kehidupan masyarakat yang makin lama makin kompleks.
6) Terpidana harus dipandang sebagai makhluk Tuhan, seperti layaknya manusia lainnya, yang mempunyai potensi dan iktikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat.

c. Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara menjadikan reintegrasi sosial sebagai tujuan yang akan dicapai, yakni terintegrasinya hubungan hidup - kehidupan antara terpidana dan masyarakat, sehingga Pembinaan Narapidana dengan pendekatakan pemasyarakatan harus dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat, dalam hal mana masing - masing elemen mempunyai kedudukan dan peran yang saling mendukung tercapainya tujuan pemasyarakatan itu.

d. Sistem Pemasyarakatan memberikan perhatikan yang seimbang antara masyarakat dan pelanggar hukum, dalam arti perilaku pelanggar hukum dipandang sebagai gejala ( symptom ) adanya keretakan hubungan antara pelanggar hukum dan masyarakat. Pembinaan terhadap pelanggar hukum ditujukan untuk memperbaiki keretakan hubungan tersebut, pelanggar hukum harus mendapat kesempatan seluas - luasnya untuk bersosialisasi dengan masyarakat, dan masyarakat harus berpartipasi aktif dan memberikan dukungan dalam pembinaan pelanggar hukum  sebagai perwujudan tanggung jawab sosial ( social responsibility ).

e. Dalam hal tanggung jawab sosial, Ketua Pengadilan dapat menunjuk Hakim yang diberi tugas pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana ( pemidanaan ) perampasan kemerdekaan, guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 KUHAP.

f. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat dalam pemidanaan yang dapat diperoleh dari perilaku terpidana atau pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pemidanaannya ( Pasal 280 KUHAP ).

g. 3 ( tiga ) hal yang mendasar diperlukan dalam Model Reintegrasi ini, yakni :

1) Permasalahan yang menyangkut pelaku kejahatan harus dipecahkan bersama dengan masyarakat.
2) Masyarakat mempunyai tanggung jawab terhadap masalah yang menyangkut perilaku kejahatan.
3) Kontak dengan masyarakat bertujuan untuk mencapai tujuan dari reintegrasi, sehingga kejahatan akan dipecahkan dengan peran normal, sebagai warga masyarakat, anggota keluarga dan petugas / pekerja nya.

h. Reintegrasi sosial didasarkan pada premis bahwa kejahatan hanya gejala ( symptom ), terjadi kejahatan karena disorganisasi dalam masyarakat, sehingga masyarakat harus ikut bertanggung jawab dalam upaya pembinaan pelanggar hukum dan dalam pelaksanaan pembinaan sedapat mungkin memberikan ruang yang seluas - luasnya bagi masyarakat dan pelanggar hukum untuk saling berinteraksi yang pada gilirannya pelanggar hukum dapat menginternalisasi nilai - nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

i. Pendekatan reintergrasi sosial dalam pemasyarakatan tersebut mencegah timbulnya bahaya laten dalam sistem penjara ( Lapas ) yakni dehumanisasi, sehingga sedapat mungkin membantu menghilangkan stigma negatif dalam masyarakat, membantu bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak semata - mata bertahan hidup, membangun kembali perilaku patuh pada hukum dan sebaliknya individu pelanggar hukum harus belajar memanfaatkan kesempatan yang diberikan dalam sistem pemasyarakatan itu.

j. Tujuan Pembinaan Narapidana dalam sistem pemasyarakatan dengan simbol " pengayoman " selain mencegah tindakan kriminal lanjutan ( recidivist ), memberikan kesempatan para narapidana kembali di tengah masyarakat Indonesia yang beradab, mampu berintegrasi, bersosialisasi, bahkan berproduksi ( produktif ), secara individual bergegas merobah wataknya dan mengantarkan para narapidana menjadi manusia yang berguna dan bermartabat.

k. Masalah Pembinaan Narapidana selama menjalani masa pemidanaannya seringkali menjadi isu miring berkaitan dengan penyimpangan oknum sipir Lapas, Perilaku tidak terpuji, sistem upeti, menjadi sekolah kriminal, bandar narkoba dan sebagainya, sekalipun hanya dilakukan oleh segelintir oknum petugas Lapas, namun dampaknya berpengaruh pada persepsi masyarakat terhadap keberadaan Lembaga Pemasyarakatan yang tujuan pemasyarakatan sebenarnya adalah sejalam dengan implementasi falsafah bangsa Indonesia " Pancasila ".

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN