FORMULASI SURAT GUGATAN KONTENTIOSA ( IDENTITAS PARA PIHAK )

Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidak seperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf a KUHAP ( meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka ).

Tidak seluas itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 Ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan, cukup memadai sebagai dasar untuk :

• Menyampaikan panggilan, atau
• Menyampaikan pemberitahuan.

Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi :

A. Nama Lengkap

1) Nama Terang Dan Lengkap, Termasuk Gelar Atau Alias ( Jika Ada )

Maksud mencantumkan gelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal. [1]

2) Kekeliruan Penyebutan Nama Yang Serius

• Kekeliruan penulisan atau penyebutan nama tergugat yang sangat serius menyimpang dari yang semestinya, sehingga benar-benar mengubah identitas, dianggap melanggar syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan cacat formil;
• Dalam hal yang seperti ini, timbul ketidakpastian mengenai orang atau pihak yang berperkara, sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan gugatan error in persona atau obscuur libel, dalam arti orang yang digugat kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

3) Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati Secara Sempit Atau Kaku ( Strict Law ), Tetapi Harus Dengan Lentur ( Flexible )

• Apabila kekeliruan itu sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolerir, misalnya, salah menulis a menjadi o, kekeliruan itu dikategorikan sebagai kesalahan pengetikan ( clerical error );
• Oleh karena itu, kesalahan dimaksud dapat diperbaiki oleh penggugat dalam persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik ( balasan atas jawaban tergugat ). Bahkan hakim sendiri dapat memperbaiki dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan.

4) Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap Dan Jelas

Sama halnya dengan penulisan nama orang, penulisan korporasi atau badan hukum ( legal entity ), harus lengkap dan jelas sesuai dengan nama yang sesungguhnya berdasarkan :

• Nama yang disebut dalam anggaran dasar atau yang tercantum pada papan nama maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan;
• Biasanya, selain ditulis nama lengkap perseroan, ditulis juga nama singkatan sebagaimana yang disebut dalam anggaran dasar atau papan nama.

B. Alamat atau tempat tinggal

Identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat tinggal tergugat atau para pihak.

1) Yang Dimaksud Dengan Alamat

Menurut hukum sesuai dengan tata tertib beracara, yang dimaksud dengan alamat, meliputi :

• Alamat kediaman pokok,
• Bisa juga alamat kediaman tambahan,
• Atau tempat tinggal riil.

Pokoknya didasarkan pada asas yang bersangkutan secara nyata bertempat tinggal.

2) Sumber Keabsahan Alamat

Terdapat beberapa sumber dokumen atau fakta yang dapat dijadikan sumber alamat yang legal :

• Bagi perorangan ( physical person ), dapat diambil dari KTP, NPWP ( Nomor Pokok Wajib Pajak ), dan Kartu Rumah Tangga ( KK );
• Bagi perseroan ( legal entity ), dapat diambil dari NPWP, Anggaran Dasar, Izin Usaha, atau dari Papan Nama.

Alamat yang diambil dari dokumen atau akta, sah menurut hukum. Oleh karena itu, pencantuman alamat yang didasarkan dari sumber alamat itu, tidak dapat diajukan bantahan.

3) Perubahan Alamat Tergugat Sesudah Gugatan Diajukan

Apabila terjadi perubahan alamat tergugat sesudah gugatan diajukan penggugat, sehingga alamat yang disebut dalam gugatan berbeda dengan tempat tinggal riil tergugat :

• Tidak mengakibatkan gugatan cacat formil, sehingga perubahan dan perbedaan alamat itu, tidak memengaruhi keabsahan gugatan,
• Oleh karena itu, tergugat tidak dapat menjadikan hal itu sebagai dasar bantahan atau eksepsi agar gugatan dinyatakan salah alamat, atau untuk dijadikan dasar alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ).

Rasio yang terkandung dalam penerapan yang dijelaskan di atas, untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari tergugat. Sebab kalau perubahan alamat sesudah gugatan diajukan dibenarkan mengakibatkan gugatan cacat formil, perubahan itu akan dimanfaatkan tergugat yang beriktikad buruk untuk melumpuhkan dan mempermainkan penggugat dan pengadilan. Cara tergugat memperolok peradilan, dengan jalan saat gugatan diajukan oleh penggugat ke PN, buru-buru tergugat pindah tempat atau mengubah alamat. Demikian seterusnya, sehingga jika hal itu dibenarkan mengakibatkan runtuh dan hancur kepastian hukum. Dampak yang lebih jauh, mengakibatkan perkara tersebut tidak dapat diselesaikan.

4) Tidak Diketahui Alamat Tempat Tinggal Tergugat

Apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi penggugat untuk mengajukan gugatan. Pasal 390 Ayat (3) HIR telah mengantisipasi kemungkinan tersebut dalam bentuk pemanggilan umum oleh wali kota atau bupati. Hukum dan undang-undang tidak boleh mematikan hak perdata seseorang untuk menggugat orang lain, hanya atas alasan tidak diketahui tempat tinggal tergugat. Penegakkan hukum yang seperti itu, bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan. Sehubungan dengan itu, apabila penggugat dihadapkan dengan permasalahan hukum yang seperti itu, dapat ditempuh cara perumusan identitas alamat sebagi berikut :

• Mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir,

Dalam penulisan identitas alamat, cukup atau dapat mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir, dengan kata-kata : terakhir bertempat tinggal atau bertempat kediaman di ..., atau

• Dengan tegas menyebutkan, tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya.

Supaya cara ini benar-benar beralasan, pernyataan itu sebaiknya didukung oleh surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat tinggal. Oleh karena itu, apabila penggugat menghadapi kasus, tempat tergugat tidak diketahui, sebaiknya diminta lebih dahulu surat keterangan kepala desa tentang hal itu. Berdasarkan surat keterangan itu, penggugat dapat merumuskan identitas alamat tempat tinggal yang berbunyi : alamat atau tempat tinggal tergugat tidak diketahui berdasarkan surat keterangan kepala desa Tanggal ... Nomor ....

Berdasarkan surat keterangan itu, pengadilan dapat langsung menempuh proses pemeriksaan melalui penggilan umum berdasarkan Pasal 390 Ayat (3) HIR.

C. Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif

Tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap, meliputi umur, pekerjaan, agama, jenis kelamin, dan suku bangsa.[2] Lebih lengkap tentunya lebih baik dan lebih pasti. Akan tetapi, hal itu jangan diterapkan secara sempit, yang menjadikan pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil. Penerapan yang demikian merupakan pemerkosaan hukum bagi penggugat, karena tidak mudah untuk mendapat identitas tergugat yang lengkap. Sangat sulit bagi penggugat untuk mengetahui dan memperoleh data umur dan tanggal lahir. Kecuali apabila yang digugat itu perseroan, perlu atau harus disebut kedudukan atau jabatan orang yang bertindak mewakilinya. Biasanya yang mewakili itu direktur.

Memerhatikan kesulitan itu, tepat dan beralasan penggarisan undang-undang dan praktik peradilan yang mencukupkan pencantuman identitas tergugat atau para pihak sebatas penyebutan :

• Nama lengkap dengan jelas, ditambah alias ( jika ada ),
• Alamat tempat tinggal atau tempat kediaman pokok atau tambahan,
• Jabatan yang mewakili perseroan, apabila yang digugat atau penggugatnya perseroan.

Penyebutan identitas yang demikian, sah menurut hukum, dengan ketentuan, pemyebutan identitas yang lengkap adalah lebih baik, namun tidak bersifat imperatif. [3]







Footnote :


[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 41.
[2] Abdulkadir Muhammad, Ibid., hlm. 41.
[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 53-57.

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN