BENTUK GUGATAN KONTENTIOSA

Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Berbentuk Lisan

Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR ( Pasal 144 RBG ) yang menegaskan :

Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.

Pada saat undang-undang ( HIR ) ini dibuat tahun 1941 ( St. 1941, No. 44 ), ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PN untuk membuat gugatan yang diinginkannya.

Tanpa mengurangi penjelasan diatas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten, memperkuat alasan tentang tidak relevan nya gugatan secara lisan. Namun demikian, memperhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang.

Terlepas dari hal diatas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.

A. Syarat Formil Gugatan Lisan

Penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta aksara. Dalam Pasal 120 HIR, hanya disebut buta aksara. Tidak termasuk orang yang buta hukum atau yang kurang memahami hukum. Juga tidak disyaratkan orang yang tidak mampu secara finansial. Tidak dimasukkan syarat kemampuan finansial sebagai syarat yang diakumulasi dengan buta aksara, membuat ketentuan ini kurang adil. Alasannya orang yang kaya tetapi buta aksara, pada dasarnya dapat membiayai pengacara, sehingga kurang layak mendapat bantuan dari Ketua PN.

B. Cara Mengajukan Gugatan Lisan

Pengajuan gugatan dilakukan dengan

• Diajukan dengan lisan,
• Kepada Ketua PN, dan
• Menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan.

Pengajuan atau pemasukkan gugatan secara lisan, disampaikan sendiri oleh penggugat. Tidak boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara ysng ditunjuknya. Dengan menunjuk pengacara sebagai kuasa yang akan mewakili kepentingannya, menurut hukum dianggap telah melenyapkan syarat buta aksara. Kecuali yang ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari anggota keluarga yang juga buta aksara, pada diri kuasa dianggap melekat syarat tersebut. Mengenai larangan ini, tertera juga dalam satu Putusan MA yang menegaskan, [1] orang yang diberi kuasa, tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan.

C. Fungsi Ketua PN

• Ketua PN wajib memberi layanan,
• Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN :

- Mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
- Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang diterangkan penggugat.

Sehubungan dengan kewajiban mencatat dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua PN perlu memperhatikan Putusan MA tentang ini yang menegaskan, [2] Adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.

2. Bentuk Tertulis

Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 Ayat (1) HIR ( Pasal 142 RBG ). Menurut pasal ini, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut.

A. Penggugat Sendiri

Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN, adalah karena HIR maupun RBG, tidak menganut sistem Verplichte Procureur Stelling, yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk mewakilinya, sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de Rechtvordering ( Rv ).

Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 Ayat (1) HIR, dengan demikian :

• Tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat untuk menguasakan atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat; [3]
• Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang kuasa, yang akan bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan dan pengajuan gugatan. [4]

B. Kuasa

Selanjutnya, Pasal 118 Ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau menyampaikan surat gugatan kepada PN. Ketentuan ini, sejalan dengan yang digariskan Pasal 123 Ayat (1) HIR yang mengatakan, baik penggugat dan tergugat ( kedua belah pihak ) :

• Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan tindakan di depan pengadilan, dan
• Kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus ( special power of attorney ). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut.
• Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus.
• Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau pemberi kuasa ( lastgever, mandate ).
• Apabila kuasa atau penerima kuasa ( lasthebber; mandataris ), membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa :

- Gugatan yang dibuat dan ditanda tangani kuasa itu, dianggap mengandung cacat formil;
- Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat diterima atas alasan, gugatan ditanda tangani oleh orang yang tidak berwenang ( unauthorized ) untuk itu, karena pada waktu kuasa menandatangani gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa.

Dari penjelasan di atas, jika yang bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, ia harus lebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari penggugat. Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama. [5]






Footnote :


[1] No. 369 K/Sip/1973, 04-12-1975.
[2] No. 195 K/Sip/1955, 28-11-1956, Majalah Hukm 1957 No.7-8, hlm. 29.
[3] Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, hlm. 11.
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 11.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 48-51.


Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN