FUNDAMENTUM PETENDI DAN BEBERAPA PASAL KETENTUAN UU YANG DAPAT DIJADIKAN LANDASAN PERMOHONAN ( GUGATAN PERMOHONAN ATAU GUGATAN VOLUNTAIR )
Fundamentum petendi atau
posita ( disebut juga positum ) permohonan, tidak serumit
dalam gugatan perkara contentiosa.
Landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar permohonan, cukup memuat dan
menjelaskan hubungan hukum ( rechtsver
houlding ) antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan.
Sehubungan dengan itu, fundamentum
petendi atau posita permohonan,
pada prinsipnya didasarkan pada ketentual pasal undang-undang yang menjadi
alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentuan itu dengan peristiwa yang
dihadapi pemohon.
Untuk
mendapat gambaran yang lebih jelas, dideskripsi berbagai ketentuan pasal undang-undang
yang dapat dijadikan dasar hukum ( rechtsgrond,
basic law ) permohonan secara voluntair. Namun apa yang dideskripsi
tersebut, belum meliputi seluruh permasalahan, tetapi baru sebagian dari jumlah
yang ada, antara lain sebagai berikut.
1. Bidang Hukum Keluarga
Diatur
dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, maupun peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan hukum keluarga.
a) Permohonan
izin melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua, berdasarkan Pasal 6 Ayat
(5) UU No. 1 Tahun 1974 :
• Dalam hal orang tua berbeda pendapat memberi izin
perkawinan bagi yang berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat;
• Dalam peristiwa yang seperti itu, yang
bersangkutan dapat mengajukan permohonan izin kepada pengadilan untuk
melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua.
b) Permohonan
pencegahan perkawinan berdasarkan Pasal 13 jo. Pasal 17 Ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 :
• Apabila dalam perkawinan yang dilangsungkan ada
pihak yang tidak memenuhi syarat;
• Maka keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali, dan pengampu dapat mengajukan permohonan pencegahan kepada
pengadilan.
c) Permohonan
dispensasi nikah bagi calon mempelai pria yang belum berumur 16 tahun
berdasarkan Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.
d) Permohonan
pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 25, 26, dan 27 UU No. 1 Tahun 1974.
e) Permohonan
pengangkatan wali berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, Keppres
No. 1 Tahun 1991 jo. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987.
f) Permohonan
penegasan pengangkatan anak berdasarkan penggarisan yang diatur dalam SEMA No.
6 Tahun 1983 tanggal 30 September 1983 tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun
1979. [1]
2. Bidang Paten Yang Diatur Dalam
UU No. 14 Tahun 2000
Permohonan
kepada Pengadilan Niaga agar menerbitkan penetapan segera dan efektif,
berdasarkan Pasal 125, untuk :
a) Mencegah
berlanjutnya pelanggaran paten, khususnya :
• Mencegah masuknya barang yang diduga melanggar
paten;
• Termasuk tindakan importasi.
b) Menyimpan
bukti yang berkaitan dengan pelanggaran paten dan menghindari terjadinya
penghilangan barang bukti.
c) Meminta
kepada pihak yang merasa dirugikan agar memberitahukan bukti yang menyatakan
pihak tersebut memang berhak atas paten itu.
3. Bidang Perlindungan Konsumen Berdasarkan
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
a) Permohonan
penetapan eksekusi kepada PN atas putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen berdasarkan Pasal 57.
b) Yurisdiksinya
diajukan kepada PN di tempat kediaman konsumen yang dirugikan, jadi kepada PN
tempat kediaman permohonan eksekusi, bukan di tempat kediaman termohon
eksekusi.
4. Permohonan Berdasarkan UU No. 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan
a) Permohonan
atau permintaan penetapan eksekusi kepada PN atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha ( KPPU ) yang telah berkekuatan hukum tetap, berdasarkan Pasal
46 Ayat (2).
b) Menurut
Pasal 46 Ayat (1) keputusan KPPU dianggap berkekuatan tetap, apabila pelaku
usaha yang bersangkutan, telah mengajukan keberatan kepada PN, paling lambat 14
hari dari tanggal penerimaan pemberitahuan keputusan KPPU.
5. Permohonan Berdasarkan UU No. 16
Tahun 2001 Tentang Yayasan
a) Permohonan
pemeriksaan yayasan berdasarkan Pasal 53 kepada Ketua PN, untuk mendapatkan
data dan keterangan atas dugaan organ yayasan :
• Melakukan Perbuatan Melawan Hukum ( PMH ) atau
perbuatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan;
• Melakukan perbuatan yang merugikan yayasan serta
pihak ketiga;
• Lalai melaksanakan tugas;
• Melakukan perbuatan yang merugikan negara.
b) Yang
dapat atau berhak mengajukan permohonan :
• Oleh pihak ketiga atas huruf a, b, dan c;
• Oleh Kejaksaan atas huruf d, mewakili kepentingan
umum.
c) Permohonan
dituangkan dalam bentuk penetapan oleh PN berdasarkan Pasal 54 :
• Dapat menolak,
• Dapat juga mengabulkan, dengan menyebutkan penetapan pemeriksaan serta mengangkat
paling banyak 3 orang ahli,
• Pasal 56 mewajibkan ahli menyampaikan laporan
hasil pemeriksaan laporan kepada ketua PN, paling lambat 30 hari, dan
• Selanjutnya Ketua PN memberikan salinan laporan
pemeriksaan kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan.
6. Permohonan Berdasarkan UU No. 1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
a) Permohonan
pembubaran Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 7 Ayat (4)
• Orang yang berkepentingan dapat mengajukan
permohonan pembubaran ke PN;
• Atas alasan, apabila lewat 6 bulan, pemegang saham
kurang dari dua orang.
b) Permohonan
izin melakukan sendiri pemanggilan RUPS kepada Ketua PN berdasarkan Pasal 67
Ayat (1) :
• Apabila direksi atau komisaris tidak
menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang ditentukan, atau
• Melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya,
apabila direksi atau komisaris setelah lewat 30 hari terhitung sejak permintaan,
tidak melakukan pemanggilan RUPS lainnya tersebut.
Penetapan Ketua PN mengenal pemberian izin dalam
kasus ini, merupakan penetapan instansi pertama dan terakhir.
c) Permohonan
kepada Ketua PN untuk menetapkan korum RUPS, apabila korum RUPS kedua tidak
tercapai, berdasarkan Pasal 73 Ayat (6).
d) Permohonan
pailit oleh direksi secara voluntary
petition ( atas permohonan sendiri ) berdasarkan Pasal 90 Ayat (1) dan Ayat
(2) asalkan permohonan itu berdasarkan putusan RUPS.
e) Permohonan
pemeriksaan oleh PN mengenai perbuatan melawan hukum ( PMH ) yang dilakukan
perseroan atau yang dilakukan direksi maupun komisaris yang merugikan perseroan,
berdasarkan Pasal 110 Ayat (2).
• Yang dapat atau yang berhak mengajukan permohonan
:
1) Pemegang saham atas nama sendiri atas nama
perseroan yang mewakili paling sedikit 1/10 dari seluruh saham;
2) Pihak lain yang dalam anggaran dasar atau
berdasarkan perjanjian diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan;
3) Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
• PN berwenang :
1) Menolak permohonan, apabila tidak ada dasar;
2) Mengabulkan dengan jalan mengeluarkan penetapan
pemeriksaan, dan mengangkat paling banyak tiga orang ahli untuk melakukan
pemeriksaan;
3) Laporan hasil pemeriksaan, disampikan kepada Ketua
PN;
4) Ketua PN memberikan salinan laporan kepada pemohon
dan Perseroan yang bersangkutan.
f) Permohonan
kepada Ketua PN untuk menetapkan penggantian seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan
kepada pemohon, direksi, atau komisaris berdasarkan Pasal 113 Ayat (3).
g)
Permohonan pembubaran perseroan kepada PN berdasarkan Pasal 117 Ayat (1) adalah
:
1) Kejaksaan berdasarkan alasan kuat, bahwa
perseroan melakukan pelanggaran kepentingan umum,
2) Seorang pemegang saham atau lebih tepat yang
memiliki 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham,
3) Kreditur berdasarkan alasan :
A) Perseroan tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan
pailit,
B) Harta kekayaan perseroan tidak cukup melunasi
seluruh utang setelah pernyataan pailit dicabut.
h) Permohonan kepada Ketua PN mengangkat likuidator
baru dan menghentikan likuidator lama berdasarkan Pasal 123 atas alasan tidak
melaksakan tugas.
7. Permohonan Berdasarkan UU No. 15
Tahun 2001 Tentang Merek
Berdasarkan
Pasal 85 dapat diajukan permohonan voluntair
kepada pengadilan negeri agar diterbitkan penetapan sementara, mengenai :
A) Pencegahan masuknya barang yang berkaitan melanggar
hak merek;
B)
Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek.
Demikian
gambaran sepintas, permasalahan yang dapat diajukan penyelesaiannya melalui
permohonan atau gugatan voluntair
yang diatur dalam berbagai pasal peraturan perundang-undangan. Akan tetapi,
deskripsi di atas belum meliputi seluruh permasalahan.
Permasalahan
yang dijelaskan hanya bersifat random
atau acak dari sebagian kecil peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan
itu, masih banyak lagi permasalahan yang dapat diselesaikan pengadilan melalui
gugatan permohonan di berbagai peraturan perundang-undangan yang lain. [2]
Footnote :
[1] SEMA dan PERMA tahun 1951-1991, MA RI, Februari 1999,
hlm. 466 et segg.
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar
Grafika, 2016, hlm. 33-37.
Comments
Post a Comment