PENGERTIAN KUASA SECARA UMUM

Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yamg diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketetuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Oleh karena itu, perlu disinggung secara ringkas beberapa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap berkaitan dengan kuasa khusus.

Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi :

" Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. " [1]

Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari :

- Pemberi kuasa atau lastgever ( instruction, mandate );
- Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau Lastgeving ( volmacht, full power ), jika :

- Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
- Dengan demikian, penerima kuasa ( lasthebber, mandatory ) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
- Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa. [2]

Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali ( irrevocable ). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur ( aanvullend recht ). [3]




Footnote :

[1] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. 25, hlm. 382.
[2] Lihat Putusan MA No. 331 K/Sip/1973, tgl. 4-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hlm. 57.
[3] Bandingkan Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16-12-1976, Ibid., hlm. 292.


Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN