FORMULASI SURAT GUGATAN KONTENTIOSA ( FUNDAMENTUM PETENDI )

Fundamentum Petendi, berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan ( grondslag van de lis ). [1] Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, antara lain :

• Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
• Dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.

Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Juga sekaligus memikulkan beban wajib bukti kepada penggugat untuk membuktikan dalil gugatan sesuai yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan, setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun mambantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.

Mengenai perumusan fundamentum petendi atau dalil gugat, muncul dua teori : [2]

1) Pertama, disebut substantierings theorie yang mengajarkan, dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.

2) Kedua, teori individualisasi ( individualisering theorie ), yang menjelaskan peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum ( rechtsverhouding ) yang menjadi dasar tuntutan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan pengadilan. Tentang hal itu Prof. Sudikno mengemukakan salah satu Putusan MA yang menegaskan : perumusan kejadian materi secara singkat sudah memenuhi syarat. [3]

A. Unsur Fundamentum Petendi

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori di atas digabung, tidak dipisah secara kaku dan sempit. Penggabungan kedua isi teori itu dalam perumusan gugatan, untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur atau obscuur libel ( gugatan yang gelap ).

Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memuat dua unsur :

1) Dasar Hukum ( Rechtelijke Grond )

Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukun antara :
• Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
• Antara penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa.

2) Dasar Fakta ( Feitelijke Grond )

Memuat penjelasan pernyataan mengenai :
• Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak tergugat,
• Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.

Berdasarkan penjelasan di atas, posita yang dianggap terhindar dan cacat obscuur libel, adalah surat gugatan yang jelas sekaligus memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum ( rechtelijke grond ) yang menjadi dasar hubungan hukum serta dasar fakta atau peristiwa ( feitelijke Grond ) yang terjadi di sekitar hubungan hukum dimaksud.

B. Dalil Gugat Yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum

Dalam uraian ini, diperlihatkan beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki landasan hukum.

1) Pembebasan Pemidanaan Atas Laporan Tergugat, Tidak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Menuntut Ganti-Rugi.

Penggugat dilaporkan tergugat melakukan tindakan pidana. Berdasarkan laporan itu dilakukan proses penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan. Ternyata pengadilan menjatuhkan putusan bebas ( vrijspraak, acquittal ) terhadapnya. Setelah putusan berkekuatan tetap, dia mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelapor.

Dalam kasus ini, MA menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara lain : [4]

• Memang benar Tergugat I melaporkan penggugat melakukan tindak pidana penipuan, dan berdasarkan laporan itu, penggugat telah diperiksa sampai proses persidangan pengadilan. Selanjutnya pengadilan telah menjatuhkan putusan yang menyatakan penggugat bebas;

• Akan tetapi, putusan bebas itu, tidak dapat dijadikan dasar alasan menggugat pelapor melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang diikuti dengan tuntutan ganti rugi, atas alasan di dalam negara hukum, dibenarkan melaporkan tindak pidana yang dialami atau diketahuinya, sedang masalah apakah tindak pidana yang dilaporkan memenuhi unsur delik, merupakan hak sepenuhnya dari pengadilan untuk menilainya. Dengan demikian gugatan yang diajukan dianggap tidak mempunyai dasar hukum.

Dalam kasus ini, fakta-fakta atau peristiwanya mempunyai dasar. Namun demikian, oleh karena landasan dasar hukumnya tidak ada, gugatan dianggap cacat formil, dan dinyatakan tidak dapat diterima.

Kasus yang sama dapat dilihat dalam Putusan MA yang lain, [5] yang menegaskan, gugatan wanprestasi yang didasarkan atas alasan telah dilapor kepada polisi, tidak cukup menjadi dalil gugatan menuntut ganti rugi kepada pelapor, karena setiap orang berhak mengajukan laporan kepada polisi atau kepada aparat penegak hukum.

Pendapat yang sama dikemukakan dalam putusan lain Putusan MA No. 2329 K / Pdt / 1985, tanggal 18-12-1986 yang menegaskan, adalah hak setiap orang untuk melaporkan terjadinya tindak pidana kepada penyidik, meskipun terjadi penahanan berdasarkan laporan itu, tindakan itu dianggap sah menurut hukum, apabila penahanan itu memenuhi syarat formil dan materiil yang diatur Pasal 20 jo. Pasal 21 Ayat (4) KUHAP. Sedang mengenai pemberitaan pemeriksaan perkara di pengadilan berdasarkan laporan itu, tidak bertentangan dengan hukum, karena persidangan itu dilakukan sesuai dengan asas terbuka untuk umum sebagaimana yang diatur Pasal 153 KUHAP. Dalam hal seperti ini, wartawan bebas mempublikasikan proses persidangan.

2) Dalil Gugatan Berdasarkan Perjanjian Tidak Halal

Kasus ini berkenaan dengan perjanjian Future commodity trading. MA mempertimbangkan. [6]

• Perjanjian future commodity trading, tidak dibenarkan dalam lalu lintas perdagangan, karena sejak terjadi heboh perdagangan yang seperti itu pada 1977, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan instruksi tanggal 18 Juli 1977 No. 03/01/Ins/VI/1977 yang melarang bentuk dan cara perdagangan dimaksud,

• Ternyata perjanjian account agreement yang diperbuat penggugat dan tergugat adalah pada tanggal 21 Oktober, berarti perjanjian itu dibuat sesudah larangan perdagangan semacam itu dilarang, sehingga dasar kausa perjanjian tidak halal ( ongeoorlofde oorzaak ), berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata.

Contoh lain perjanjian tidak halal adalah milik beding, yaitu perjanjian yang berisi syarat, apabila debitur melakukan wanprestasi, barang jaminan atau agunan jatuh menjadi milik kreditur. Perjanjian milik beding dengan tegas dilarang Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996. [7] Yang menegaskan : Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum.

Berdasarkan ketentuan ini, apabila gugatan yang diajukan bertitik tolak dari dalil milim beding yang menuntut penyerahan hak pemilikan atas tanah jaminan, gugatan tersebut dianggap tidak mempunyai dasar hukum atau dasar dalil gugatan bertitik tolak dari larangan hukum atau undang-undang. Sebenarnya masalah milik beding sudah lama tidak dibenarkan praktik peradilan. Hal itu ditegaskan oleh Z. Asikin Kusuma Atmadja dalam catatan terhadap Putusan MA No. 3438 K/Pdt/1985, tanggal 9 Desember 1987, antara lain menyatakan : [8]

... Suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan sebidang tanah, tidak dapat dengan begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah, manakala si debitur tidak melunasi utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama tidak diperkenankan, terutama dalam suasana hukum adat.

3) Gugatan Tuntutan Ganti Rugi Atas Perbuatan Melawan Hukum ( PMH )

Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata Mengenai Kesalahan Hakim Dalam Melaksanakan Fungsi Peradilan, Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum Penegasan tentang ini, dijelaskan dalam SEMA antara lain menjelaskan : [9]

• Pertanggung jawaban berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan atau apakah dapat dipertanggung jawabkan secara perdata atas kesalahan yang dilakukan hakim, tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, permasalahan ini perlu dikembangkan melalui yurisprudensi dan pendekatan ilmu hukum;

• Dari segi pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat diterapkan terhadap hakim yang salah dalam melaksanakan tugas bidang peradilan. Demikian juga negara, tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan;

• Dari segi pendekatan yurisprudensi, antara lain dapat dikemukakan Putusan HIR, 3 Desember 1971, M/1972, 137 yang mengatakan, terhadap putusan hakim, undang-undang telah menyediakan sarana hukum ( rechts middelen ), sehingga undang-undang secara tuntas telah memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk membela hak nya ( melalui banding, kasasi, dan peninjauan kembali ) untuk memperoleh putusan hakim yang tepat. Sehubungan dengan itu, tidak dapat dibenarkan adanya kemungkinan bagi pihak yang telah mempergunakan segala sarana hukum yang tersedia, namun tidak berhasil dalam gugatan untuk menggugat negara berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, karena hal seperti itu menjadikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, menjadi sasaran sengketa;

• Begitu juga dari segi pendekatan independensi peradilan ( judicial independency ), the judges are acts committed in the exercise of judicial function;

• Dalam SEMA tersebut, juga dikemukakan perbandingan hukum ( comperative law ), dari beberapa negara, antara lain :
- Pakistan menegaskan, In Pakistan no judge is liable in a civil action for anything done in good faith,
- Amerika Serikat menjelaskan, hakim mempunyai kekebalan ( immunity ), terhadap gugatan ganti rugi walaupun terhadap tindakan yang dianggap mengenai perbuatan tidak dengan iktikad baik atau secara korektif sifatnya.
- Malaysia, telah mengatur tentang hal ini dalam section 14 Courts Of Judicature Act 1969 yang berisi ketentuan antara lain, seorang hakim tidak dapat dipertanggung jawabkan dan digugat dalam pengadilan secara perdata atas suatu tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan tersebut melampaui batas wewenang.

4) Dalil Gugatan Yang Tidak Berdasarkan Sengketa, Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum

Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu kasus. Penggugat sebagai debitur mengajukan gugatan kepada kreditur yang berisi dalil agar kreditur memberi penetapan kepastian berapa jumlah utangnya atas alasan untuk menghindari terjadinya pembayaran yang tidak diwajibkan ( onverschuldige betaling ). Terhadap gugatan ini, MA mempertimbangkan : [10]

• Gugatan diajukan tanpa didasari adanya persengketaan mengenai jumlah utang;
• Penggugat sebagai debitur, pada dasarnya dibebani kewajiban untuk membayar utang dan tidak mempunyai hak terhadap kreditur;
• Untuk mengajukan gugatan dalam hubungan kewajiban hak antara kedua belah pihak, baru dapat dibenarkan hukum apabila telah timbul atau telah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh pihak lain.

Suatu gugatan yang tidak didasarkan pada suatu sengketa seperti dalam kasus ini, disebut juga tidak memenuhi syarat materiil gugatan. Hal itu dinyatakan dalam putusan lain MA, [11] yang menegaskan, syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan pengadilan adanya perselisihan hukum ( sengketa hukum ) antara kedua pihak.

5) Tuntutan Ganti Rugi Atas Sesuatu Hasil Yang Tidak Dirinci Berdasarkan Fakta, Dianggap Gugatan Yang Tidak Mempunyai Dasar Hukum.

Tentang hal ini, dapat dikemukakan putusan MA yang menegaskan, [12] karena gugatan tidak memberikan dasar dan alasan dalam arti gugatan tidak menjelaskan berapa hasil sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak yang tersebut dalam petitum, dianggap sebagai gugatan yang tidak jelas dasar hukumnya.

Akan tetapi penerapan tentang hal ini, tidak boleh terlampau ketat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan putusan MA lain yang mempertimbangkan, bahwa dalil pokok adalah mengenai tuntutan pembagian keuntungan perusahaan, tetapi ternyata keuntungan tersebut tidak dirinci dalam gugatan sehingga tidak jelas dan tidak pasti berapa jumlah keuntungan yang menjadi hak penggugat. Oleh karena itu gugatan mengandung cacat formil, dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Namun demikian, meskipun hal itu tidak dirinci dalam gugatan, akan tetapi dalam persidangan penggugat mampu merinci berdasarkan pembuktian, kelalaian perincian dalam surat gugatan dapat ditolerir, sehingga hilang cacat formilnya. [13]

6) Dalil Gugatan Yang Mengandung Saling Pertentangan.

Dalil gugatan yang di dalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain, dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai landasan dasar hukun yang jelas. Kasus yang demikian ditegaskan dalan salah satu putusan MA [14] yang mempertimbangkan bahwa dalil gugatan menyatakan penggugat sebagai penyewa, dan dalam kedudukan dan kapasitas yang demikian penggugat menggugat pemilik agar PN menyatakan penggugat sebagai pemilik atas alasan kadaluarsa, oleh karena itu berhak mengajukan hak pakai. Gugatan yang seperti ini tidak mempunyai dasar hukum karena antara dalil yang satu dengan dalil lain saling bertentangan.

7) Hak Atas Objek Gugatan Tidak Jelas

Dalil gugatan yang tidak menegaskan secara jelas dan pasti hak penggugat atas objek yang disengketakan, dianggap tidak memenuhi syarat, dan dinyatakan tidak sempurna. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu putusan MA. [15] Dalam putusan ini dinyatakan antara lain, suatu gugatan dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak sempurna, apabila hak penggugat atas tanah terperkara tidak jelas. Dalam hal yang seperti ini, tidak jelas hubungan hukum penggugat dengan barang yang menjadi objek sengketa, sedang seharusnya mesti jelas apakah sebagai pemilik, penyewa, atau pemakai.

Demikian gambaran berbagai klasifikasi gugatan yang tidak mempunyai dasar hukumnya. Namun perlu diingat, gambaran si atas belum meliputi segala permasalahan, masih dapat lagi diperluas dengan berbagaj masalah lain. [16]






Footnote :

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 35.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 36; Putusan MA No. 547 K/Sep/1971, 15-03-1972.
[4] MA No. 3133 K/Pdt/1983, 29-01-1985, jo. PT Medan No. 310/1982, 16-03-1983, PT Tanjung Balai No. 2/1980, 27-08-1980.
[5] MA No. 1085 K/Pdt/1984, 17-10-1985, jo. PT Padang No. 175/1983, 04-10-1983, PN Padang No. 68/1982, 17-01-1983.
[6] MA No. 2472 K/Pdt/1984, 11-12-1985, jo. PT DKI No. 336/1983, 24-09-1983, PN Jak-Pus No. 31/01/1982, 10-02-1983.
[7] Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
[8] Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting, Edisi II, MA RI, Jakarta 1992.
[9] SEMA No. 09 Tahun 1976, 16 Desember 1976, Himpunan SEMA dan PERMA tahun 1951-1997, MA Februari 1999, hlm. 335.
[10] MA No. 995 K/Sip/1975, 08-08-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA, II, Hukum Perdata Dan Acara Perdata, MA RI, hlm. 195.
[11] MA No. 4 K/Sip/1958, 13-12-1958, Ibid., hlm. 206.
[12] MA No. 616 K/Sip/1973, 05-06-1975, Ibid.
[13] MA No. 873 K/Sip/1975, 06-05-1977, Ibid., hlm. 303.
[14] MA No. 3097 K/Sip/1983, 26-03-1987, Varia Peradilan, Tahun III,  No. 26, November 1987, hlm. 74.
[15] MA No. 565 K/Sip/1973, 21-08-1974, Ibid., Rangkuman Yurisprudensi, hlm. 192.
[16] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 57-63.


Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN