UPAYA HUKUM TERHADAP PENETAPAN ( GUGATAN PERMOHONAN ATAU GUGATAN VOLUNTAIR )

Apabila permohonan ditolak oleh Pengadilan, apa upaya hukum yang dapat dilakukan pemohon ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan dijelaskan hal-hal sebagai berikut.

1. Penetapan Atas Permohonan Merupakan Putusan Tingkat Pertama Dan Terakhir.

Sesuai dengan doktrin dan praktik yang berlaku, penetapan yang dijatuhkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir. [1]

2. Terhadap Putusan Peradilan Tingkat Pertama Yang Bersifat Pertama Dan Terakhir, Tidak Dapat Diajukan Banding.

Terkadang undang-undang sendiri secara tegas mengatakan, bahwa penetapan atas permohonan itu, bersifat pertama dan terakhir. Namun ada kalanya tidak dinyatakan secara tegas. Akan tetapi, ada juga yang secara tegas mengatakan terhadap penetapan yang dijatuhkan atas permohonan, tidak tunduk pada peradilan yang lebih tinggi. Salah satu contoh dapat dikemukakan Pasal 360 jo. Pasal 364 KUH Perdata.

• Menurut Pasal 360 KUH Perdata, permohonan pengangkatan wali dilakukan oleh PN, atas permintaan keluarga sedarah dan semenda.

• Selanjutnya Pasal 363 KUH Perdata menegaskan :

Permohonan banding atas putusan PN mengenai pengangkatan wali, tidak tunduk pada Peradilan lebih tinggi kecuali ada ketentuan tentang sebaliknya. [2]

Mengenai penetapan yang disebut Pasal 360 KUH Perdata tersebut, dapat diperhatikan Putusan PT Medan tanggal 1 Maret 1952, No. 120 Tahun 1950 yang menegaskan antara lain :

Permohonan banding atas Putusan PN tentang pengangkatan perwalian berdasarkan Pasal 360 BW, harus dinyatakan niet ontvankelijke verklaard ( tidak dapar diterima ), karena menurut Pasal 364 BW, sendiri dengan tegas mengatakan, bahwa banding atas pengangkatan wali tidak dapat dimohon banding. [3]

Contoh lain, dapat dilihat pada Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pasal itu menegaskan penetapan PN tentang pemberian izin melakukan sendiri pemanggilan RUPS, Merupakan penetapan instansi pertama dan terakhir.

3. Upaya Hukum Yang Dapat Diajukan, Kasasi.

Kebolehan mengajukan kasasi terhadap penetapan atas permohonan merujuk secara analogis kepada penjelasan Pasal 43 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.

Pasal 43 Ayat (1) mengatakan, permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Terhadap kalimat terakhir pasal ini, dirumuskan penjelasan yang berbunyi :

Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh UU tidak dapat dimohon banding.

Memperhatikan penegasan penjelasan Pasal 43 Ayat (1) tersebut, oleh karena penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat dibanding maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 43 Ayat (1) dimaksud. [4]





Footnote :

[1] M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 46.
[2] R. Subekti, R. Tjitrosubio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hlm. 110-111.
[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir, Medan, 1997, hlm. 432.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 42-43.

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SYSTEM )

LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR

UNSUR-UNSUR TERJADINYA PEWARISAN